Dewi Sartika
Hasan Mustapa
Pangeran Kornel
Si kabayan
Sunda
Tradisional
Urang Sunda
URANG SUNDA Bag.2
Setelah dalam tulisan
sebelumnya mengulas karakteristik Urang Sunda melalui tokoh-tokoh sastra
seperti si Kabayan, Sangkuriang dan lain sebagainya, kini bagaiamana sebetulnya
karakteristik Urang Sunda itu jika dilihat dari tokoh-tokoh sejarah yang memang
berasal dari tatar sunda. Walaupun dalam riwayat hidup mereka yang berredar di
masyarakat terdapat hal-hal yang diragukan kebenarannya karena tidak dapat
ditentukan apakah benar secara historis ataukah hanya imajinasi cerita sejarah
itu saja, namun ada bukti-bukti sejarah yang menjadi saksi bahwa mereka memang
pernah hidup di dunia nyata, maksudnya walaupun ada riwayat-riwayat mereka yang
tidak didukung bukti sejarah, namun sebagian besar lainnya adalah fakta
sejarah.
Dewi
Sartika
Dalam Ensikloped Umum
disebutkan bahwa Dewi Sartika adalah “Raden Ajeng Kartininya Jawa Barat” maka
sudah barang tentu jasa—jasa Dewi Sartika terhadap bangsanya sudah diakui
secara resmi. Dia diangkat sebagai pahlawan nasional dan dianggap sebagai
pelopor pendidikan wanita. Akan tetapi penyebutan Dewi Sartika sebagai Kartini
nya Jawa Barat sudah barang tentu itu melecehkan. Meskipun sama-sama
bercita-cita hendal memajukan wanita pribumi namun R.A Kartini dan Raden Dewi
Sartika berangkat dari titik yang berbeda dan menggunakan sarana yang berbeda
pula.
Ketika itu Dewi Sartika
berusia sembilan tahun dan terpaksa putus sekolah karena ayahnya yang menjadi
seorang buangan karena tuduhan makar pada bupati Bandung saat itu. Ibunya yang
juga mengikuti ayahnya ke pembuangan, maka Dewi Sartika di titipkan pada uanya
yang menjadi patih afdeeling Cicalengka. Dari isteri patih Cicalengka itu Dewi
Sartika belajar berbagai keterampilan wanita yang pada waktu itu dianggap perlu
dikuasai oleh wanita menak sunda. Sementara dari isteri Kontrolir Cicalengka
beliau mendapat berbagai macam pelajaran seperti di sekolah kepada anak-anak
Patih dan menak lainnya di Cicalengka dan Dewi Sartika mengikuti pelajaran itu
bersama saudara-saudara sepupunya itu. Dan pada saat itu sudah terlihat jika
Dewi Sartika sudah terlihat minatnya terhadap usaha mendidik kaumnya. Dalam
kesempatan bermain dengan rekan-rekan sesama gadis anak para bangsawan lainnya
yang kebanyakan tidak disekolahkan karena pada saat itu kebanyakan massih
berpendapat bahwa anak-anak wanita tidaklah perlu memeperoleh pendidikan karena
akhirnya akan bekerja didapur juga, ia seing menyelenggarakan sekolah-sekolahan
dimana ia bertinda sebagai guru dan rekan-rekannya sebagai murid, dan ia sering
menolong rekan-rekannya yang buta huruf untuk membacakan surat-surat yang
mereka terima.
Setelah ibunya kembali
dari pembuangan karena ayahnya meninggal, Dewi Sartika pun meninggalkan
Cicalengka dan kembali ke Bandung bersama ibunya. Melihat kenyataan dari ibunya
yang mendapat kesukaran tersendiri karena ditinggal suaminya dan segala
kekayaannya disita pemerintah, tanpa meninggalakan sepeserpun harta warisan,
dan ketiadaan keterampilan yang mumpuni untuk bertahan hidup karena selama ini
menggantungkan hidup pada suami, Dewi Sartika pun berpikir bahwa perlulah kiranya
kaum wanita mendapatkan pendidikan agar bisa hidup mandiri dan tidak melulu
bergantung pada suami. Hidup istripun perlulah mangatur urusan rumah tangga
yang patut. Dari bakat dan minatnya untuk menjaddi seorang guru yang sudah
terlihat sejak bermain sekolah-sekolahan dulu mendorongnya untuk membuka
sekolah khusus untuk wanita.
Meskipun tidak mudah,
akhirnya Dewi Sartika mendapat dukungan dari Bupati Bandung saat itu R.A.A.
Martanagara, sehingga langsung dibicarakan dengan Den Hamer, Inspektur Kantor
Pengajaran, yang juga bersedia mambantunya. Akhirnya di tahun 1904 bertempat di
pendopo Kabupaten Bandung dibukalah Sakola Istri yang terdiri dari dua kelas,
yaitu kelas satu dan dua dengan murid kira-kira 20 orang dan tiga tenaga
pengajar yaitu Dewi Sartika sendiri, Purma dan Uwit. Pada mulanya banyaklah
kecaman dan sindiran yang ditujukan kepada Dewi Sartika, namun lambat laun
masyarakat mulai merasakan manfaat dari sekolah tersebut, sehingga datanglah
berbagai uluran tangna baik perseorangan maupun pemerintah.
Karena dianggap
berhasil maka kemudian di berbagai kota
dan kabupaten di tanah sunda dibuka pula Sakola Kautamaan Istri, kalau bukan
oleh murid Dewi Sartika sudah barang tentu oleh tokoh wanita setempat yang
tertarik oleh contoh yang diberikan Dewi Sartika, bahkan tercatat seorang murid
Dewi Sartika yang berasal dari Minangkabau, setelah lulus juga mendirikan
sekolah yang sama ditanah kelahirannya.
Salah satu cara Dewi
Sartika untuk menarik perhatian masyarakat adalah dengan menyelenggarakan
perayaan akhir tahun ajaran. Didalam kesempatan itu ditampilkan berbagai
pertunjukan seni, pameran hasil kerajinan, hidangan berupa kue-kue dan masakan
yang dibuat para murid sebelum akhirnya melaksanakan perpisahan dan pembagian
ijazah. Dalam perayaan akhir tahun ajaran itupula diundang para pejabat
pemerintah, para tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh organisasi wanita yang ada
pada saat itu.
Selain aktif mengajar,
Dewi Sartika juga aktif menulis, ia menjadi salah seorang dari sembilan wanita
yang menulis gagasannya untuk pemerintah Belanda yang menyelidiki sebab-sebab
kemunduran kemakmuran penduduk di Jawa, khusu berkaitan dengan usaha meningkatkan martabat kaum wanita.
Didalamnya ia mengemukakan tujuan dari pendidikan adalah agar anak-anak didik
memperoleh kekuatan budi dan kesehatan jasmani, yaitu yang dalam dalam bahasa
dunda disebut cageur bageur. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa selain
pendidikan budi pekerti, wanita juga memerlukan pendidikan kejuruan terutama
dalam bidang kewanitaan, ia menuntut agar gaji untuk wanita dan laki-laki
disamakan dan pekerjaan sebagai juru tulis dan pengasuh rumah tangga menjadi
pekerjaan yang cocok untuk para gadis, dan ia pun menyatakan bahwa permaduan
dan perkawinan anak-anak adalah penyakit masyarakat yang harus diberantas.
Sayangnya ketika Perang
Dunia II dan bala tentara Jepang menduduki Indonesia, Sakola Kautamaan Istri
harus ditutup dan dibubarkan. Dewi Sartika dan anak-anaknya pun harus mengungsi
ke kampung Bentang Ciamis. Dalam perjalanan
ke pengungsian itu Dewi Sartika yang kala itu bertubuh gemuk (125kg) mengalami
lecet pada bagian kaki, lecet itu tidak kunjung sembuh karena kemudian ia
diketahui mengidap penyakit diabetes dan
harus dirawat di rumah sakit tentara darurat di Cineam, Tasikmalaya, dan
disitupulalah ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Haji
Hasan Mustapa
Haji Hasan Mustapa
dikenal sebagai bujangga Sunda yang paling besar, bukan hanya dinyatakan oleh
berbagai ahli sastra sunda saja tetapi juga oleh pemerintah dengan diberikannya
Anugrah Seni oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 1977. Pengakuan itu
sebenarnya wajar karena memang karya-karyanya bermutu tinggi, tetapi dalam hal
Hasan mustapa terlihat aneh karena karena pengakuannya kurang lebih setengah
abad setelah kepergiannya, sedangkan pada masa hidupnya sampai pada tahun 1950
tak pernah ada penulis buku tentang sastra sunda yang menyinggung dirinya. Dan
yang lebih ganjil adalah sampai sekarangpun karya-karyanya masih belum beredar
secara luas. Hasan Mustapa menjadi terkenal bukanlah melalui karya tulisannya
melainkan melalui cerita yang beredar di masyarakat.
Dikalangan kaum
orientalis Hasan Mustapa lebih terkenal sebagai ahli islam yang telah membantu
Prof. Dr. Snouck Hugronje ketika menjabat sebagai penasihat pemerintah Belanda
untuk urusan agama islam dan Arab. Karya yang terkenal luas ialah monografi
tentang adat istiadat orang Sunda, berjudul Bab Adat-adat Urang Priangan jeung
sunda Lianna Ti Eta (1913) dan sudah diterjemahkan keadalam bahasa Belanda.
Menurut Snouck Hugronje yang menjadi pengantar dalam buku terjemahan itu bahwa
selama bermukim di Mekah Hasa Mustapa sempat mengajar bahasa dan sastra Arab di
Masjidil Haram. Selain itu juga banyak tulisan-tulisan dan puisi-puisi yang
berbahasa Arab yang diterbitkan di Kairo, sayang tidak dicantumkan apa
judulnya, akan tetapi di perpustakaan Universitas leiden terdapat naskah Hasan
Mustaa yang berjudul Inajaz al-wa’d fi itfa’ar-ra’d yang merupakan pembelaan
dirinya atas tuduhan Sayyid Uthman bin Abdullah bin Aqil dari Jakarta.
Maka jelaslah bahwa
begitu banyak karya-karya Hasan Mustapa yang masih tersembunyi bahkan juga bagi
orang-orang Sunda yang sudah mulai membanggakanya. Penerbitan atas
karya-karyanya menjadi sebuah keharusan yang mutlak, walaupun akan banyak
sekali rintangannya. Masalah utama ialah meneliti naskah-naskahnya yang mana
yang merupakan teks asli karena banyaknya karya-karyanya yang sudah berada di
tangan orang lain.
Pangeran Kornel
Pangeran Kornel adalah
nama sebutan bagi Pangeran Kusumah Dinata, karena dalam peperangan melawan
Diponegoro, ia oleh Belanda diangkat sebagai kolonnel tituler. Istilah kolonel
yang pada saat itu masih jarang digunakan maka berubah menjadi Kornel. Nama
panggilan Pangeran kornel itu sendiri lebih terkenal daripada nama aslinya.
Pangeran Kornel ini
seorang yang realistis yang meyakini bahwa rakyat tidak akan memberontak
terhadap atasannya juka diperlakukan dengan baik. Para pejabat seharusnya
menjadi pelindung dan pemimpin rakyat bukan malah menjaddi pemeras atau
penindas. Ia sendiri sebagai bupati Sumedang merasa berkewajiban membela
rakyatnya dari perbuatan tiddak senonoh, hal itu dibuktikannya sendiri ketika
peristiwa yang terjadi ketika pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan. Ketika itu
proyek Daendels yang dimulai dari Anyer menuju Panarukan harus melewati Bandung
menuju Cirebon dan Semarang dengan terlebih dahulu melewati Kabupaten Sumedang.
Kala itu pembuatan di suatu tempat di daerah Sumedang berjalan dengan lambat
karena harus melewati gunung batu dan cadas, sedangkan para pekerja hanya
bekerja dengan menggunakan tangan dan alat-alat yang sederhana seperti linggis
dan cangkul. Setelah berbulan-bulan hampir tidak ada hasilnya, dan ini membuat
Daendels harus turun langsung mengeceknya.
Daendels sendiri
terkenal amat galak, maka ketika ia berencana mengecek sendiri proyeknya maka
sudah tergambar bagaimana dia akan marah besar melihat bahwa proyeknya berjalan
dengan lambat. Akan tetapi Pangeran Kornel tidak merasa cemas, tatkala Daendels
tiba disambutnya dengan langkah tegap dengan tangan kanan memegang hulu keris
yang sudah digilirkannya kedepan. Tatkala Daendels menyodorkan tangan untuk
bersalaman Pangeran Kornel menyambutnya dengan tangan kiri sembari tangan
kanannya masih memegang erat hulu keris, ini tentu mengejutkan Daendels, pada
saat itu pula Pangeran Kornel menceritakan apa yang menjadi kesulitan rakyatnya
dalam mengerjakan proyek pembangunan jalan tersebut. Karena melihat sikap yang
luar biasa itu, Daendels tidak segera menegur soal keterlambatan pekerjaan
pembuatan jalan itu. Akhirnya Daendels pun memuji keberanian Pangeran Kornel
tersebut, dengan segera ia memerintahkan ajudannya untuk mengirimkan pasukan
zeni untuk membantu menghancurkan batu cadas yang tak mungkin dilinggis itu
dengan bantuan dinamit.
Peristiwa itu pun
dilihat sebagai pernyataan keberanian Pangeran Kornel dalam mengemukakan apa
yang dianggapnya sebagai kebenaran. Jika ia yakin akan apa kebenaran itu maka
ia berani mengemukakannya dihadapan siapapun walaupun harus mempertaruhkan
kedudukan dan keselamatan dirinya sendiri.
Setelah secara singkat
menggambarkan beberapa tokoh Urang Sunda baik itu yang berupa fiksi dalam
tulisan sebelumnya dan sejarah Sunda, maka dapat tergambar bagaimana karakter
Urang Sunda itu sendiri. Jika digaris hubungkan tokoh Mundinglaya di Kusuma dan
Raden Yogaswara dengan Pangeran Kornel, maka yang terlihat adala kepatuhan,
kesungguhan dan kejujuran dalam menjalankan tugas, begitupula antara tokoh
Dayang Sumbi dan Raden Dewi Sartika yang teguh akan kkemampuan dan kebenaran
dirinya. Sedang tokoh Hasan Mustapa dapatlah disandingkan dengan perpaduan
antara sifat Sangkuriang dan Si Kabayan yang selalu yakin akan kebenaran
dirinya dan pribadi yang humoris dan suka bercanda dilihat dari begitu
banyaknya anekdot-anekdot karya Hasan Mustapa yang beredar di masyarakat.
Begitupula dengan karya puisinya yang berjumlah 10.000 bait yang akan sama
abadinya dengan Gunung Tangkuban Parahu karya Sangkuriang.
Akan tetapi yang harus
diinngat ialah bahwa masyarakat Sunda sekarang telah mengalami berbagai
perubahan fundamental dengan mengintegrasikan diri dengan Bangsa Indonesia yang
muskil sedikit banyak akan merubah sifat-sifat dasar manusia Sunda. Selain itu
pendidikan dan kehidupan keluarga Sunda sekarang ini terutama bagi mereka yang
tinggal di perkotaan tidak banyak memeberi kesempatan pada anak-anak untuk
menyerap nilai-nilai yang diturunkan leluhurnya. Semakin sedikit porsi dan kian
menurunnya kualitas mutu pendidikan dan kesenian Sunda serta kian sulitnya
bacaan-bacaan berbahasa Sunda niscaya akan semakin berkurangnya kesempatan
anak-anak Sunda untuk bertemu dan menyelami tokoh-tokoh imajiner hasil ciptaan
bujangga Sunda leluhurnya sendiri dan
perkenalan dengan tokoh-tokoh sejarah Sunda pun hanya terbatas pada
mereka yang menonjol di percaturan nasional saja.
Post a Comment