URANG SUNDA Bag.2



Setelah dalam tulisan sebelumnya mengulas karakteristik Urang Sunda melalui tokoh-tokoh sastra seperti si Kabayan, Sangkuriang dan lain sebagainya, kini bagaiamana sebetulnya karakteristik Urang Sunda itu jika dilihat dari tokoh-tokoh sejarah yang memang berasal dari tatar sunda. Walaupun dalam riwayat hidup mereka yang berredar di masyarakat terdapat hal-hal yang diragukan kebenarannya karena tidak dapat ditentukan apakah benar secara historis ataukah hanya imajinasi cerita sejarah itu saja, namun ada bukti-bukti sejarah yang menjadi saksi bahwa mereka memang pernah hidup di dunia nyata, maksudnya walaupun ada riwayat-riwayat mereka yang tidak didukung bukti sejarah, namun sebagian besar lainnya adalah fakta sejarah. 

Dewi Sartika

Dalam Ensikloped Umum disebutkan bahwa Dewi Sartika adalah “Raden Ajeng Kartininya Jawa Barat” maka sudah barang tentu jasa—jasa Dewi Sartika terhadap bangsanya sudah diakui secara resmi. Dia diangkat sebagai pahlawan nasional dan dianggap sebagai pelopor pendidikan wanita. Akan tetapi penyebutan Dewi Sartika sebagai Kartini nya Jawa Barat sudah barang tentu itu melecehkan. Meskipun sama-sama bercita-cita hendal memajukan wanita pribumi namun R.A Kartini dan Raden Dewi Sartika berangkat dari titik yang berbeda dan menggunakan sarana yang berbeda pula. 


Ketika itu Dewi Sartika berusia sembilan tahun dan terpaksa putus sekolah karena ayahnya yang menjadi seorang buangan karena tuduhan makar pada bupati Bandung saat itu. Ibunya yang juga mengikuti ayahnya ke pembuangan, maka Dewi Sartika di titipkan pada uanya yang menjadi patih afdeeling Cicalengka. Dari isteri patih Cicalengka itu Dewi Sartika belajar berbagai keterampilan wanita yang pada waktu itu dianggap perlu dikuasai oleh wanita menak sunda. Sementara dari isteri Kontrolir Cicalengka beliau mendapat berbagai macam pelajaran seperti di sekolah kepada anak-anak Patih dan menak lainnya di Cicalengka dan Dewi Sartika mengikuti pelajaran itu bersama saudara-saudara sepupunya itu. Dan pada saat itu sudah terlihat jika Dewi Sartika sudah terlihat minatnya terhadap usaha mendidik kaumnya. Dalam kesempatan bermain dengan rekan-rekan sesama gadis anak para bangsawan lainnya yang kebanyakan tidak disekolahkan karena pada saat itu kebanyakan massih berpendapat bahwa anak-anak wanita tidaklah perlu memeperoleh pendidikan karena akhirnya akan bekerja didapur juga, ia seing menyelenggarakan sekolah-sekolahan dimana ia bertinda sebagai guru dan rekan-rekannya sebagai murid, dan ia sering menolong rekan-rekannya yang buta huruf untuk membacakan surat-surat yang mereka terima. 

Setelah ibunya kembali dari pembuangan karena ayahnya meninggal, Dewi Sartika pun meninggalkan Cicalengka dan kembali ke Bandung bersama ibunya. Melihat kenyataan dari ibunya yang mendapat kesukaran tersendiri karena ditinggal suaminya dan segala kekayaannya disita pemerintah, tanpa meninggalakan sepeserpun harta warisan, dan ketiadaan keterampilan yang mumpuni untuk bertahan hidup karena selama ini menggantungkan hidup pada suami, Dewi Sartika pun berpikir bahwa perlulah kiranya kaum wanita mendapatkan pendidikan agar bisa hidup mandiri dan tidak melulu bergantung pada suami. Hidup istripun perlulah mangatur urusan rumah tangga yang patut. Dari bakat dan minatnya untuk menjaddi seorang guru yang sudah terlihat sejak bermain sekolah-sekolahan dulu mendorongnya untuk membuka sekolah khusus untuk wanita.  

Meskipun tidak mudah, akhirnya Dewi Sartika mendapat dukungan dari Bupati Bandung saat itu R.A.A. Martanagara, sehingga langsung dibicarakan dengan Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran, yang juga bersedia mambantunya. Akhirnya di tahun 1904 bertempat di pendopo Kabupaten Bandung dibukalah Sakola Istri yang terdiri dari dua kelas, yaitu kelas satu dan dua dengan murid kira-kira 20 orang dan tiga tenaga pengajar yaitu Dewi Sartika sendiri, Purma dan Uwit. Pada mulanya banyaklah kecaman dan sindiran yang ditujukan kepada Dewi Sartika, namun lambat laun masyarakat mulai merasakan manfaat dari sekolah tersebut, sehingga datanglah berbagai uluran tangna baik perseorangan maupun pemerintah. 

Karena dianggap berhasil  maka kemudian di berbagai kota dan kabupaten di tanah sunda dibuka pula Sakola Kautamaan Istri, kalau bukan oleh murid Dewi Sartika sudah barang tentu oleh tokoh wanita setempat yang tertarik oleh contoh yang diberikan Dewi Sartika, bahkan tercatat seorang murid Dewi Sartika yang berasal dari Minangkabau, setelah lulus juga mendirikan sekolah yang sama ditanah kelahirannya. 

Salah satu cara Dewi Sartika untuk menarik perhatian masyarakat adalah dengan menyelenggarakan perayaan akhir tahun ajaran. Didalam kesempatan itu ditampilkan berbagai pertunjukan seni, pameran hasil kerajinan, hidangan berupa kue-kue dan masakan yang dibuat para murid sebelum akhirnya melaksanakan perpisahan dan pembagian ijazah. Dalam perayaan akhir tahun ajaran itupula diundang para pejabat pemerintah, para tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh organisasi wanita yang ada pada saat itu. 

Selain aktif mengajar, Dewi Sartika juga aktif menulis, ia menjadi salah seorang dari sembilan wanita yang menulis gagasannya untuk pemerintah Belanda yang menyelidiki sebab-sebab kemunduran kemakmuran penduduk di Jawa, khusu berkaitan dengan  usaha meningkatkan martabat kaum wanita. Didalamnya ia mengemukakan tujuan dari pendidikan adalah agar anak-anak didik memperoleh kekuatan budi dan kesehatan jasmani, yaitu yang dalam dalam bahasa dunda disebut cageur bageur. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa selain pendidikan budi pekerti, wanita juga memerlukan pendidikan kejuruan terutama dalam bidang kewanitaan, ia menuntut agar gaji untuk wanita dan laki-laki disamakan dan pekerjaan sebagai juru tulis dan pengasuh rumah tangga menjadi pekerjaan yang cocok untuk para gadis, dan ia pun menyatakan bahwa permaduan dan perkawinan anak-anak adalah penyakit masyarakat yang harus diberantas. 

Sayangnya ketika Perang Dunia II dan bala tentara Jepang menduduki Indonesia, Sakola Kautamaan Istri harus ditutup dan dibubarkan. Dewi Sartika dan anak-anaknya pun harus mengungsi ke kampung Bentang  Ciamis. Dalam perjalanan ke pengungsian itu Dewi Sartika yang kala itu bertubuh gemuk (125kg) mengalami lecet pada bagian kaki, lecet itu tidak kunjung sembuh karena kemudian ia diketahui mengidap penyakit diabetes dan  harus dirawat di rumah sakit tentara darurat di Cineam, Tasikmalaya, dan disitupulalah ia menghembuskan nafas terakhirnya. 

Haji Hasan Mustapa

Haji Hasan Mustapa dikenal sebagai bujangga Sunda yang paling besar, bukan hanya dinyatakan oleh berbagai ahli sastra sunda saja tetapi juga oleh pemerintah dengan diberikannya Anugrah Seni oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 1977. Pengakuan itu sebenarnya wajar karena memang karya-karyanya bermutu tinggi, tetapi dalam hal Hasan mustapa terlihat aneh karena karena pengakuannya kurang lebih setengah abad setelah kepergiannya, sedangkan pada masa hidupnya sampai pada tahun 1950 tak pernah ada penulis buku tentang sastra sunda yang menyinggung dirinya. Dan yang lebih ganjil adalah sampai sekarangpun karya-karyanya masih belum beredar secara luas. Hasan Mustapa menjadi terkenal bukanlah melalui karya tulisannya melainkan melalui cerita yang beredar di masyarakat. 

Dikalangan kaum orientalis Hasan Mustapa lebih terkenal sebagai ahli islam yang telah membantu Prof. Dr. Snouck Hugronje ketika menjabat sebagai penasihat pemerintah Belanda untuk urusan agama islam dan Arab. Karya yang terkenal luas ialah monografi tentang adat istiadat orang Sunda, berjudul Bab Adat-adat Urang Priangan jeung sunda Lianna Ti Eta (1913) dan sudah diterjemahkan keadalam bahasa Belanda. Menurut Snouck Hugronje yang menjadi pengantar dalam buku terjemahan itu bahwa selama bermukim di Mekah Hasa Mustapa sempat mengajar bahasa dan sastra Arab di Masjidil Haram. Selain itu juga banyak tulisan-tulisan dan puisi-puisi yang berbahasa Arab yang diterbitkan di Kairo, sayang tidak dicantumkan apa judulnya, akan tetapi di perpustakaan Universitas leiden terdapat naskah Hasan Mustaa yang berjudul Inajaz al-wa’d fi itfa’ar-ra’d yang merupakan pembelaan dirinya atas tuduhan Sayyid Uthman bin Abdullah bin Aqil dari Jakarta. 

Maka jelaslah bahwa begitu banyak karya-karya Hasan Mustapa yang masih tersembunyi bahkan juga bagi orang-orang Sunda yang sudah mulai membanggakanya. Penerbitan atas karya-karyanya menjadi sebuah keharusan yang mutlak, walaupun akan banyak sekali rintangannya. Masalah utama ialah meneliti naskah-naskahnya yang mana yang merupakan teks asli karena banyaknya karya-karyanya yang sudah berada di tangan orang lain. 

Pangeran Kornel

Pangeran Kornel adalah nama sebutan bagi Pangeran Kusumah Dinata, karena dalam peperangan melawan Diponegoro, ia oleh Belanda diangkat sebagai kolonnel tituler. Istilah kolonel yang pada saat itu masih jarang digunakan maka berubah menjadi Kornel. Nama panggilan Pangeran kornel itu sendiri lebih terkenal daripada nama aslinya. 

Pangeran Kornel ini seorang yang realistis yang meyakini bahwa rakyat tidak akan memberontak terhadap atasannya juka diperlakukan dengan baik. Para pejabat seharusnya menjadi pelindung dan pemimpin rakyat bukan malah menjaddi pemeras atau penindas. Ia sendiri sebagai bupati Sumedang merasa berkewajiban membela rakyatnya dari perbuatan tiddak senonoh, hal itu dibuktikannya sendiri ketika peristiwa yang terjadi ketika pembuatan jalan raya Anyer-Panarukan. Ketika itu proyek Daendels yang dimulai dari Anyer menuju Panarukan harus melewati Bandung menuju Cirebon dan Semarang dengan terlebih dahulu melewati Kabupaten Sumedang. Kala itu pembuatan di suatu tempat di daerah Sumedang berjalan dengan lambat karena harus melewati gunung batu dan cadas, sedangkan para pekerja hanya bekerja dengan menggunakan tangan dan alat-alat yang sederhana seperti linggis dan cangkul. Setelah berbulan-bulan hampir tidak ada hasilnya, dan ini membuat Daendels harus turun langsung mengeceknya. 

Daendels sendiri terkenal amat galak, maka ketika ia berencana mengecek sendiri proyeknya maka sudah tergambar bagaimana dia akan marah besar melihat bahwa proyeknya berjalan dengan lambat. Akan tetapi Pangeran Kornel tidak merasa cemas, tatkala Daendels tiba disambutnya dengan langkah tegap dengan tangan kanan memegang hulu keris yang sudah digilirkannya kedepan. Tatkala Daendels menyodorkan tangan untuk bersalaman Pangeran Kornel menyambutnya dengan tangan kiri sembari tangan kanannya masih memegang erat hulu keris, ini tentu mengejutkan Daendels, pada saat itu pula Pangeran Kornel menceritakan apa yang menjadi kesulitan rakyatnya dalam mengerjakan proyek pembangunan jalan tersebut. Karena melihat sikap yang luar biasa itu, Daendels tidak segera menegur soal keterlambatan pekerjaan pembuatan jalan itu. Akhirnya Daendels pun memuji keberanian Pangeran Kornel tersebut, dengan segera ia memerintahkan ajudannya untuk mengirimkan pasukan zeni untuk membantu menghancurkan batu cadas yang tak mungkin dilinggis itu dengan bantuan dinamit.

Peristiwa itu pun dilihat sebagai pernyataan keberanian Pangeran Kornel dalam mengemukakan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran. Jika ia yakin akan apa kebenaran itu maka ia berani mengemukakannya dihadapan siapapun walaupun harus mempertaruhkan kedudukan dan keselamatan dirinya sendiri. 

Setelah secara singkat menggambarkan beberapa tokoh Urang Sunda baik itu yang berupa fiksi dalam tulisan sebelumnya dan sejarah Sunda, maka dapat tergambar bagaimana karakter Urang Sunda itu sendiri. Jika digaris hubungkan tokoh Mundinglaya di Kusuma dan Raden Yogaswara dengan Pangeran Kornel, maka yang terlihat adala kepatuhan, kesungguhan dan kejujuran dalam menjalankan tugas, begitupula antara tokoh Dayang Sumbi dan Raden Dewi Sartika yang teguh akan kkemampuan dan kebenaran dirinya. Sedang tokoh Hasan Mustapa dapatlah disandingkan dengan perpaduan antara sifat Sangkuriang dan Si Kabayan yang selalu yakin akan kebenaran dirinya dan pribadi yang humoris dan suka bercanda dilihat dari begitu banyaknya anekdot-anekdot karya Hasan Mustapa yang beredar di masyarakat. Begitupula dengan karya puisinya yang berjumlah 10.000 bait yang akan sama abadinya dengan Gunung Tangkuban Parahu karya Sangkuriang. 

Akan tetapi yang harus diinngat ialah bahwa masyarakat Sunda sekarang telah mengalami berbagai perubahan fundamental dengan mengintegrasikan diri dengan Bangsa Indonesia yang muskil sedikit banyak akan merubah sifat-sifat dasar manusia Sunda. Selain itu pendidikan dan kehidupan keluarga Sunda sekarang ini terutama bagi mereka yang tinggal di perkotaan tidak banyak memeberi kesempatan pada anak-anak untuk menyerap nilai-nilai yang diturunkan leluhurnya. Semakin sedikit porsi dan kian menurunnya kualitas mutu pendidikan dan kesenian Sunda serta kian sulitnya bacaan-bacaan berbahasa Sunda niscaya akan semakin berkurangnya kesempatan anak-anak Sunda untuk bertemu dan menyelami tokoh-tokoh imajiner hasil ciptaan bujangga Sunda leluhurnya sendiri dan  perkenalan dengan tokoh-tokoh sejarah Sunda pun hanya terbatas pada mereka yang menonjol di percaturan nasional saja.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Sookhee Lee. Diberdayakan oleh Blogger.