SBY pun menjadikan jingle Indomie untuk kampanye nya |
Berbicara
masalah kedaulatan tentunya berbicara juga tenatang keadaan negara. Sayangnya
walaupun Indonesia masih tanah air ku tapi sekarnag tanah harus beli, begitu
juga air maa sudah tidak relevan lagi rasanya jika berbicara Indonesia tanah
airku, harusnya diganti Indonesia tanah airnya. Apalagi Indonesia sudah
terbagi-bagi menjadi Indomie, Indocement, dan Indomobil, nesia-nya entah kemana
mungkin dibuang ke kali, kalau dulu nyangkut di cendana mungkin kini
nyangkutnya di Megawati.
Kalau
melihat Indomie yang sudah menjadi bagian dari Indo-nesia, sesungguhnya Indomie
adalah produk cendana. Ya! Salah satu produk turunan dari bisnis keluarga Pak
Harto. Karena ketika era keluar inilah keran impor gandum ke Indonesia dibuka
selebar-lebarnya, dan sudah barang tentu kalian tahu bahwa Indomie itu bahan
dasarnya adalah gandum, satu produk yang bahan pokoknya tidak ditanam disini. Mungkin
ketika Menteri Pertanian Indonesia mengatakan bahwa sekarang konsumsi beras
masyarakat menurun karena beralih ke mie instan ini ada hubungannya dengan
sentimen rezim. Tapi ada yang dilupakan bapak menteri ini bahwa dalam keadaan
tertentu Indomie hadir sebagai juru selamat. Juru selamat bagi mereka para
mahasiswa di akhir bulan, pun ketika terjadi bencana alam, indomie-lah yang
pertama hadir, bukan beras, apalagi Jokowi mustahil rasanya itu terjadi.
Warung Indomie a.k.a Burjo |
Indomie
memang rumit, lebih rumit dari soal matematika, apalagi dari kisah cinta anak
remaja. Dari satu sisi Indomie telah mengobok-obok masalah kedaulatan pangan
kita, Indomie yang hadir dari produk impor, tentunya mengancam akan kelestarian
pangan lokal kita. Inilah yang sedang di perangi kini oleh rekan-rekan dari
Gerakan Indonesia Berdaulat, dengan menancapkan sikap untuk tidak mengkonsumsi
gandum dalam jumlah berlebih dan lebih mengutamakan panganan lokal serta
berbagai macam produk turunannya. Di sisi yang lain Indomie ini hadir sebagai
juru selamat bagi sebagian mahasiswa di akhir bulan. Ia menjadi teman sejati
bagi beribu mahasiswa di berbagai penjuru nusantara yang menjalani hidup
prihatin ole karena telat mendapat kiriman. Bayangkan jika mereka para
mahasiswa ini harus kena DO gara-gara tidak bisa makan. Ini secara tidak
langsung juga meningkatkan daya kritis mahasiswa akan hadirnya harga barang
pokok yang kelewat mahal, ketika harga BBM naik maka mahasiswa lah yang akann
berteriak pertama dan paling kencang, sebab apa? Sebab kemungkinan besar mereka
akan kembali mengkonsumsi Indomie lagi sepajang bulan. Bukan karena memang
mereka benar-benar peduli akan nasib rakyat, ya walaupun saya masih percaya apa
yang dilakukan mereka ini juga untuk kepentingan rakyat. Karena sudah pasti
para mahasiswa ini lahir dari golongann menengah ke atas, karena di sini di
Indonesia yang sebagian sudah dikuasai Indomie, anak-anak yang lahir dari
keluarga berkekurangan sulit untuk kuliah, jangan kan untuk kuliah, untuk makan
saja sudah pasti susah. Sampai di sini Indomie memiliki peran kuat dalam
mengontrol pemerintah yang berlaku seweng-wenang terhadap rakyatnya. Lebih jauh
lagi Indomie telah memberi kemakmuran bagi para bos pemilik warung indomie atau
di jogja biasa disebut warung burjo. Coba
lihat di Yogyakarta, berapa ratus pengusaha burjo yang mempekerjakan
rekan-rekan sekampungnya untuk sekedar berjualan Indomie rebus atau pun goreng
baik dengan atau tanpa telur. Disini Indomie terbutki telah ikut mengangkat
perekonomian rakyat dengan cepat, berbeda dengan singkong dan ubi yang butuh
waktu hingga 350 tahun untuk setidaknya membuat rakyat sedikit bisa melepaskan
ikat pinggang dari penjajahan. Tapi celakanya 90% pelanggan warung burjo itu
adalah mahasiswa, ini berarti sampai saat ini mahasiswa masih dekat dengan
rakyat, dan tentunya Indomie yang merekatkan hubungan mereka.
Lantas
bagaimana nasib nasi? Sampai saat ini nasi masih menjadi primadona, bahkan
sampai ke daerah Indonesia timur sekalipun yang dulu berdasarkan buku pelajaran
IPS ketika SD, masyarakat Indonesia timur itu makanan pokoknya adalah sagu dan
umbi-umbian bukanlah nasi, mungkin semenjak kehadiran Indomie di tanah jawa,
nasi memulai invasinya ke wilayah timur Indonesia padahal lahan pertanian di
Jawa sudah banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan dan pabrik, mungkinkah
ini juga gara-gara indomie?
Tak elok
rasanya jika kita ikut mengamini pernyataan dari Menteri Pertanian tadi yang
mengkambing hitamkan Indomie sebagai pengganti nasi karena nyatanya dilapangan
Indomie dan Nasi bisa berjalan seiringan, bahkan tak jarang hadir dalam satu
piring saji. Berdasarkan data hasil survei pertanian di tahun 2013 menunjukan
bahwa prosentase rumah tangga usaha
pertanian (RTP) di Indonesia terdapat penurunan RTP mencapai 16,18%
dibandingkan dengan hasil survei 2003. Penurunan regenerasi lingkungan
pertanian adalah peyebab utama dari berkurangnya jumlah petani, karena petani
disini identik dengan kemiskinan, berbeda dengan di eropa dan negara maju
lainnya dimana petani diberikan berbagai subsidi dan berbagai macam hak
sosial-ekonomi lainnya. Ini berarti petani di Indonesia adalah produsen pangan
termiskin, berbeda dengan produsen Indomie tentunya. Belum lagi petani hampir
tidak pernah mendapatkan pelayanan imformasi dan iklim pasar serta hasil-hasil
peneitian yang mereka terapkan. Berbeda dengan Filipina yang bahkan petannya
mampu memproduksi coconut virgin oil yang menambah nilai lebih untuk produk
pertanian.
Belum
lagi masalah kedaulatan agraria yang kini memaksa para petani untuk menjual
lahan pertaniannya atas nama pembangunan. Contoh terbaru dan masih hangat
adalah kawasan Rembang, dimana para petaninya dipaksa menjual lahan pertanian
kepada pabrik semen, karena wilayah pegunungan Kendeng akan di bongkar
dijadikan bahan untuk pembuat semen, kalaupun tidak di jual, lahan pertanian
mereka terancam tidak mendapatkan pengairan karena sumber air berasal dari
pegunungan kendeng. Dalam hal ini harusnya Menteri Pertanian bekerja untuk
menyelamatkan lahan pertanian dan juga petaninya, sehingga ketersediaan bahan
pangan khususnya bagi rakyat di pulau Jawa yang makanan pokoknya adalah nasi
tetap terpenuhi, bisa saja pernyataan menteri pertanian tersebut karena harga
beras semakin mahal, sehingga memilih beralih pada Indomie. Lantas kalau begitu
selama ini, selama beberapa kali berganti rezim, Menteri Pertanian itu kerjanya
apa?
Post a Comment