Menyikapi Kasus Rembang (Pegunungan Kendeng) Biar Kekinian

Bingung juga sebetulnya harus mulai darimana untuk menyikapi kasus Rembang ini, mungkin karena tidak terlalu mengikuti perkembangan kasusnya, malah tadinya berpikiran kalau kasus pendirian pabrik semen ini sudah berakhir, ya tentunya dengan kemenangan si pemilik pabrik, seperti biasa disini masyarakat marhaen kalah dengan masyarakat industri kapitalis. Hal yang lumrah terjadi disini, tentu saja karena selain perkembangan masyarakat industry kapitalis yang lebih kurang selama 200 tahun melalui berbagai macam aksi penjarahan dan penghancuran terhadap berbagai macam sumber daya alam yang ada di bumi ini sehingga menghasilkan Imperialisme yang oleh Lenin di definisikan sebagai tahap tertinggi dari kapitalisme sehingga menciptakan jalan baru bagi kapitalisme ke seluruh penjuru dunia. Imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Barat dengan menjarah Sumber Daya Alam (SDA) dari negeri jajahan, tentunya telah membuat ekonomi negara sangat berkecukupan bahkan kelebihan uang, sebaliknya Sumber Daya Alam mereka sendiri mereka simpan dan jaga dengan sangat baik, sehingga ketika SDA negara jajahan telah habis, mereka bisa mulai mengolah SDA nya sendiri dan tentunya menjual hasilnya pada negara jajahan, maka selamanya negara tersebut akan terus terjajah secara sadar atupun tidak.  Maka Mahatma Gandhi berujar bahwa jika negeri yang dulu terjajah ingin menyamai ekonomi dari negara penjajah, negeri terjajah itu harus melakukan imperialisme selama seratus tahun dulu ke negara penjajah tersebut.

Jika menggunakan logika bahwa bumi ini bagaikan seekor sapi Limosin yang kalau tidak disembelih dan dimanfaatkan dagingnya akan mati dengan percuma, maka bumi ini akan sia-sia jika tidak di eksploitasi habis-habisan, karena toh akhirnya akan hancur juga (dalam hal ini kiamat). Tentu saja pola pikir tersebut merupakan pola pikir kapitalisme kontemporer, yang berarti bahwa pola produksi harus terus bergerak, ekspansi modal harus terus berjalan, eksploitasi bahan mentah harus terus dilakukan dan ketika itu semua berhenti maka kematian kapitalisme yang akan terjadi. 


Dalam menyikapi kasus Rembang tentunya pola-pola kapitalisme kontemporer itu terjadi. pabrik semen butuh bahan mentah dari pegunungan Kendeng agar sistem produksi terus berjalan dan modal terus berputar. Pembangun pabrik semen di pegunungn Kendeng ini memang dinilai banyak pihak cukup mengkhawatirkan karena selain merusak alam juga mengancam keberlangsungan hidup warga sekitar yang mayoritas adalah para petani. Pro-Kontra memang hal biasa, tapi penolakan warga dan perlawanan warga terhadap pembangunan pabrik semen bukanlah hal biasa, ini adalah hal yang luar biasa. Puncaknya beberapa waktu lalu masyarakat Rembang yang mayoritas adalah ibu-ibu menggeruduh UGM, karena ada beberapa dosen dari UGM yang menjadi saksi ahli dalam sidang PTUN untuk pihak pabrik semen, yang tentu saja jika melihat slogan UGM yang merupakan kampus kerakyatan, itu dinilai berbagai pihak sebagai sebuah sikap tidak merakyat karena memilih untuk membela si pabrik semen ketimbang masyarakat Rembang sendiri. Pun bukan hanya masyarakat Rembang yang yang menggeruduk UGM ini, akan tetapi juga dari Aliansi Mahasiswa Jogja Peduli Rembang ikut pula merapatkan barisan bersama warga Rembang menggeruduk UGM. Dan sehabis itu ramai-ramailah di Jogja in diselenggarakan acara nonton bareng Samin vs Semen yang notabene adalah film dokumenter yang menceritakan kehidupan warga pengikut Samin melawan pabrik Semen. (Silahkan dilihat dan dinilai sendiri filmnya https://www.youtube.com/watch?v=1fJuJ28WZ_Q ) Terakhir pemutaran film dan diskusi mengenai kasus ini dilaksanakan di Hanggar DTS UGM yang sekaligus menghadirkan aktifis Rembangnya sendiri. Dari diskusi tersebut memang menghasilkan beberapa macma kesimpulan yang tentunya diambil dari sudut pandang masyarakat Rembang itu sendiri. Sedang keesokan harinya Gerakan Indonesia Berdaulat pun mengadakan acara yang sama, namun bedanya tidak turut menghadirkan aktifis Rembang ataupun pihak pabrik semen, sehingga diskusi lebih berjalan mengalir dan dari berbagai sudut pandang, bahkan dari sudut pandang orang awam yang bahkan tidak tahu kalau beberap waktu lalu masyaratak Remang ber-"silaturahim" ke UGM ini. 

Kalau boleh bersikap tentu saya akan bersikap mendukung masyarakat Rembang, karena toh sebenarnya pendirian pabrik semen disana tidak akan berdampak signifikan terhadap warganya, yang ada malah warga di sekitar situ akan terkena berbagai macam dampak lingkungan. Tapi mari kita coba berpikir adil, karena sikap adil haruslah dimulai sejak dari dalam pikiran. Pertama masyarakat sekarang tentu butuh semen, apalagi masyarakat di perkotaan tentu butuh semen untuk menunjang pembangunan, dan bahan baku utama dari semen adalah batu kapur. Pegunungan Kendeng dalam hal ini memiliki cadangan batu kapur yang luar biasa dan menurut ahli Karst dan Hydrologi dari UGM itu sangat cocok bagi bahan baku semen. Akan tetapi pertanyaanya adalah seberapa besar kebutuhan akan semen di Indonesia? Kedua, tentunya masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng akan menolak pembangunan pabrik disana, karena itu tentu akan mengancam mata pencaharian mereka sebagai petani, walaupun ahli hydrologi dari UGM itu mengatakan bahwa di pegunungan itu tidak menyimpan cadangan air, tapi itu bukanlah yang menjadi masalah utama. Permasalahannya adalah ketika pegunungan Kendeng itu di eksploitasi untuk bahan baku semen, maka daerah sekitarnyalah yang akan dibangun pabrik, bukan di pegunungan karst nya, disini terlihat bahsa si ahli Hydrologi kurang piknik ke Rembang hehe... Bisa dibayangkan akan ada berapa ratus hektar sawah yang beralih fungsi, dan akan berapa banyak petani yang kehilangan mata pencaharian utamanya? Apakah para petani ini akan serta merta menjadi karyawan pabrik semen? Tentunya tidak bukan? Karena pabrik semen ini adalah Capital Investment bukanlah Labour Investment, yang bekerja adalah mesin yang operatornya adalah juga lulusan dari UGM, Sekolah Vokasi tepatnya yang mahasiswanya dibentuk untuk menjadi butuh-butuh profesional. Lagi-lagi disini UGM tidak kerakyatan hehhee...

Jika dilihat dari sudut pandang Gerakan Indonesia Berdaulat yang saat ini tengah berjuang menggalakan kedaulatan pangan, tentu saja pembangunan pabrik semen tersebut mengancam kedaulatan pangan kita, karena seperti yang dijelaskan diatas, akan ada banyak sekali lahan-lahan persawahan yang beralih fungsi menjadi pabrik dan penyokongnya. Lantas kalau sudah tidak ada sawah kita mau makan apa? Makan sagu pun lahan sagu sudah beralih fungsi menjadi lahan sawit, mungkin satu-satunya cara kembali pada Indomie karena kita tidak mungkin memakan semen, kecuali jika anda memang suka dan tentunya saya tidak mau ikut-ikutna karena saya masih waras. Maka kalau sudah begitu kementrian pertanian akan bubar dengan sendirinya. 

Selanjutnya adalah apakah salah jika dosen-dosen UGM itu menjadi saksi ahli, dan apakah salah juga jika Presma UGM pada waktu warga Rembang menggrebek UGM menyatakan menarik diri dari barisan hanya sekedar sakit hati tempat kuliahnya di demo ? Tentu saja tidak, karena yang salah ya tukang Bajigur, geus nyaho kiruh hayoh we di kocekeun. Bajigur og! 

Sebetulnya kedua Dosen UGM itu sudah melaksanakan tugasnya dengan benar dan tentunya sesuai kapasitas bidang keilmuannya dengan menjadi saksi ahli di pengadilan PTUN dan berbicara sesuai dengan apa yang dketahuinya mengenai karst dan kandungan air didalamnya. Sang Presma pun tidak salah kalau merasa sakit hati, ya namanya juga manusia pasti ada rasa sakit hati jika putus cinta, dalam hal ini kecintaanya terhadap almamaternya, pun demikian dengan para mahasiswa dan mahasiswi dari kedua dosen tersebut, yang tentunya mereka akan merasa tidak terima kedua dosennya di maki-maki dengan toa dihadapan orang banyak, itu manusiawi sekali. Yang menjadi permasalahan adalah pengadilan tersebut hanya menghadirkan saksi ahli dari satu bidang keilmuan saja. Seharusnya karena ini menyangkut khalayak orang banyak dan ruang lingkup yang banyak juga, pengadilan menghadirkan saksi ahli dari berbagai bidang keilmuan, bukan hanya dari geografi dengan ahli karstnya dan teknik dengan akhi hydrologynya, seharusnya juga menghadirkan ahli lingkungan, karena pembangunan semen pasti berdampak akan lingkungna di rembang sana, juga ahli pertanian karena disana juga banyak lahan pertanian, selain itu juga ekonomi terkait dengan seberapa besar pertumbuhan ekonomi masyarakat sebagai akibat dari pembangunan pabrik semen, haruslah pula menghadirkan ahli kesehatan, terkait masalah-masalah kesehatan yang akan dihadapi warga kalau ada pabrik semen disana, perlulah pula ahli sosiologi, politik, psikologi dll. Dengan demikian akan dihasilkan win-win solution, dan akan diketahui apakah di daerah tersebut layak dibangun pabrik semen atau tidak, dan yang penting tentunya Presma UGM tidak akan sakit hati, juga mahasiswa kedua dosen tersebut tidak akan merasa sakit hati. 

Tapi ada yang aneh dengan pernyataan Heru, sang dosen hydrologi yang jadi saksi ahli itu, ia mengatakan bahwa pembangunan pabrik semen akan berdampak positif bagi warga, ia berkata bahwa" "Masyarakat bisa bekerja di pabrik, sehingga nilai pengangguran di Kota Rembang sendiri akan berkurang karena masyarakatnya bekerja dan menerima hasilnya untuk mereka sendiri," (selengkapnya baca: http://www.beritasatu.com/nasional/258744-kasus-pabrik-semen-saksi-ahli-batu-gamping-di-rembang-tidak-mengandung-air.html ). Darimana ia bisa mengambil kesimpulan itu? Apakah penghasilan sebagai pekerja pabrik semen sebanding dengan penghasilan sebagai petani setiap bulannya? Kualifikasi apa yang dibutuhkan pabrik dalam menerima karyawan? Apakah semua warga yang terdampak dapat langsung menjadi karyawan disana? Posisi karyawan apa yang ditawarkan pabrik semen untuk warga yang terdampak? Paling banter ya cleaning service atau satpam dengan gaji yang diterima tentu sesuai UMR. Apa itu cukup? Nah seharusnya Heru berbicara sesuai kepasitasnya sebagai ahli Hydrologi, tidak usah bicara yang lain-lain yang ia tidak kuasai, pantaslah jika ia dikecam berbagai pihak. 

Kalau berbicara sakit hati, bolehlah saya juga ikut-ikutan sakit hati dengan pernyataan si Handarbeni yang mengatakan bahwa mahasiswa tidak kredible dalam melakukan penelitian mengenai situs resapan air disana (Baca: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/586443-kasus-semen-rembang--saksi-penggugat-tahu-ada-sosialisasi ) Ini adalah penghinaan bagi kita sebagai mahasiswa, dan tentunya penghinaan juga untuk universitas-universitas yang kita tempati.

Lantas dari apa yang tertulis di atas, pantaskah UGM disalahkan atas kasus ini? Jawabannya adalah tergantung. Tergantung dari sudut mana kita menilainya. Kalau melihat dari si saksi ahli yang katakanlah berpihak pada pabrik semen yang tentu saja si pabrik semen ini berani mengeluarkan kocek yang tidak sedikit untuk mendatangkannya, maka UGM bisa saja dianggap bersalah, apalagi si empunya kebijakan di Jawa Tengah yakni Ganjar Pranowo sang Gubernur adalah merupakan lulusan UGM, malah menjadi ketua KAGAMA, lebih jauh lagi sang Presiden pun Joko Widodo adalah juga lulusan UGM, secara moril UGM haruslah bertanggung jawab, apalagi slogan sebagai kampus kerakyatan tentu harus lebih condong pada kepentingan rakyat. Tapi jangan khawatir, dari pertemuan dengan perwakilan masyarakat Rembang beberapa waktu lalau UGM akan membentuk tim investigasi mengenai kasus ini, tentunya tim investigasi ini haruslah pula dikawal denangan ketat agar tidak hanya menjadi wacana, karena dari yang sudah-sudah si begitu, seperti masalah Sekolah Vokasi contohnya.  Jika dipandang dari sudut lain, maka tidak ada kewajiban bagi UGM untuk ikut serta bertanggung jawab dalam hal ini, karena kedua dosen yang menjadi saksi ahli tersebut tidaklah mewakili UGM dan saya yakin tidak ada surat tugas resmi dari UGM bagi kedua dosen tersebut untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Maka secara otomatis itu adalah tanggung jawab pribadi dari kedua dosen tersebut. 

Tapi jangan khawatir, walau demikian masih banyak mahasiswa-mahasiswa UGM yang peduli akan kasus Rembang ini, terbukti dari beberapa acara diskusi dan nonton film samin vs semen ataupun dari berbagai tulisan dan pernyataan sikap yang mendukung warga Rembang atau bahkan yang turun langsung ke lapangan. Maka dari itu silahkan nilai sendiri mengenai kasus Rembang ini, tentunya jangan jadikan satu sumber sebagai acuan, tapi lihatlah dari berbagai macam sudut pandang sehingga akan terlihat mana yang benar dan mana yang tidak. Dan untuk memahami pergulatan rakyat di sekitar Pegunungan Kendeng dengan pabrik semen dan tentunya aparat (dalam hal ini aparat berpihak pada pabrik semen dan menjadi tameng utama dalam menghadapi warga, yang bisa dilihat dari samin vs semen) adalah dengan memahami geneologi krisis dan logika  kapitalisme dengan ruang-ruang baru untuk menopang akumulasi kapital dan mencegah terjadinya krisis overkomulasi dari sistem tersebut. 

Ah, rasa-rasanya sulit untuk berpikir dengan adil, tapi tidak apa karena hanya Tuhan yang Maha Adil!

 Yogyakarta, 13/4/15

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Sookhee Lee. Diberdayakan oleh Blogger.