Nasi Padang Membara ; Sebuah Catatan Perjalanan

Juli 19, 2015
Setelah pendakian terakhir ke Merapi yang entah bulan kapan itu lupa, yang pasti sudah lama sekali, lebih dari 3 bulan mungkin. Lantas hasrat untuk kembali muncak timbul lagi ketika menjelang Ramadhan, biasanya bulan-bulan terakhir menjelang Ramadan gunung-gunung tak ubahnya seperti mall-mall menjelng Idul Fitri, ramai dan penuh sesak. Entah mengapa hasrat itu timbul disitu, apalagi pada waktu itu cuaca Jogja sangat bersahabat sekedar untuk menengok Merapi atau Merbabu, ditambah purnama yang indah, semakin ingin menikmatinya dari ketinggian. Ajakan-ajakan naik gunung pun berdatangan, namun apa daya angan hanya tinggal angan, karena dana tidak mencukupi dan waktu yang tidak bersahabat. Maka darinya, untuk mengentaskan dendam, diputuskanlah bahwa sehabis lebaran wajib hukumnya untuk naik gunung! Tak muluk-muluk, gunung yang ada tepat di depan rumah sebagai sasaran untuk balas dendam! Iya, gunung Guntur yang hanya berketinggian 2.249 mdpl
gunung Guntur  2.249 mdpl


Karena lebarannya hari jumat, maka tidak mungkin hari sabtu untuk balas dendam, karena masih suasana lebaran, maka diputuskanlah hari minggu untuk mendaki. Tadinya ada beberapa kawan juga yang akan ikut mendaki pada hari minggu, tapi entah mengapa mereka tidak jadi ikut, sedang yang satu orang yang tadinya galau antara ikut dan tidak malah jadi ikut. akhirnya pendakian hanya berdua.

Pendakian gunung Guntur pada hari minggu 19 Juli 2015, awalnya direncanakan untuk mulai mendaki pukul 7 pagi, meeting point di SPBU tanjung, tapi apa mau dikata sang partner pendakian jam 7 belum juga tiba, setelah di telpon ternyata dia baru siuman dari tidur singkatnya, tadinya kupikir dia tidak jadi ikut, maka kutinggalkanlah dia, dan berangkat ke tempat pak RT untuk menitip motor, sekalian laporan untuk pendakian. Sesampainya di rumah pak RT yang ada malah ngobrol panjang lebar mengenai galian pasir di daerah itu yang ternyat meresahkan warga, karena si penambang bukanlah warga sekitar melainkan para pekerja salah satu pengusaha yang juga sempat mencalonkan diri sebagai bupati Garut. Beliau bilang dengan banyaknya pendaki ke gunung Guntur, beliau senang karena kegiatan penambangan yang selama ini meresahkan dapat terhenti, bahkan Jabar 2 yang langsung memimpin penghentian operasi penambangan pasir tersebut. Beliau khawair jika penambangna pasir tersebut dilanjutkan terus menerus maka lama-lama gunung Guntur akan habis, lebih lanjut masyarakat tidak pernah merasakan dampak yang positif dai kegiatan penambangan tersebut.

Sekitar 30 menit perbincangan mengenai galian pasir dengan pak RT, tiba-tiba ada kabar untuk tidak segera melakukan pendakian kerena sang partner mau menyusul, dan tidak lama berselang datang lagi kabar kalau sang partner minta dijemput dengan alasan macet. Iya, mau tidak mau harus turun lagi untuk menjemput sang partner, akhirnya pendakian baru bisa dilakukan pukul 8;30 pagi, dari rencana awal pukul 7:00. tapi tak apa toh salahsatu tujuan dari naik gunung juga untuk menghabiskan waktu!.

Perjalanan pun dimulai dengan semangat, walau cuaca sudah mulai menyengat. Beberapa kali kami harus beristirahat, mencari tempat untuk berteduh, karena dari tempat pak RT sampai pada titik galian pasir paling ujung hampir tidak ada pohon rindang, cuaca panas, jalan berpasir dan berdebu, belum lagi jika ada truk pengangkut pasir yang lewat, rasanya itu adalah jalur tengkorak. Tiba di akses masuk menuju Curug Citiis, pepohonan mulai rindang, udara mulai sejuk dan rasanya memang seperti jalan-jalan di gunung, tapi semuanya berubah setelah sampai di pos 3. Kami tiba di Pos 3 sekitar pukul 11:00, memang perjalanan bisa dikatakan agak lambat, karena cuaca yang begitu panas di bawah.

Pos 3 ini adalah pos terakhir yang masih punya cadangan air, selebihnyahanya batuan gersang, ilalang kering dan terik matahari yang membakar kulit. Maka untuk pendakian guntur sangat disarankan untuk memakai topi, dan masker, juga lebih nikmat kalau mendaki malam hari karena akan terhindar dari cuaca panas yang membakar tulang. Di pos 3 ini ada pos volunter, yang gunanya untuk mendata kembali para pendaki yang akan melakukan pendakian ataupum perkemahan di atas, jika terjadi sesuatu dengan pendaki, maka petugas si pos 3 yang akan melakukan pertolongan lebih dulu sekaligus berkoordinasi dengan petugas di bawah, seperti halnya jika terjadi kebakaran hutan, karen memang guntur ini sering terjadi kebakaran hutan.

Setelah laporan di pos 3, kami melanjutkan perjalanan. Disini kekuatan fisik dan mental benar-benar di uji. Trek yang berpasir dan berbatu juga berdebu ditambah lagi tidak jarang sekali terdapat pohon, karena kebanyakan adalah ilalang-ilalang kering serta cuaca yang begitu panas dilengkapi dengan sudut kemiringan hampir 45 derajat, maka lengkaplah sudah rasanya penderitaan ini. Akan tetapi demi pembalasan dendam, hal itu tidak membuat kami pantang untuk pulang lagi sebelum menuju puncak!

Sekitar 1 jam perjalana dari pos 3 terlihat asap mulai membumbung, kami kira itu kebakaran dan ternyata iya, itu kebakaran hutan! Api yang terlihat masih dibawah ketika kami di curug, ternyata kini sudah samapai ke atas, bahkan lajunya melebihi kami. Kami kira api yang tadinya di bawah tersebut tidak akan sampai ke atas mengingat di bawah juga ada petugas perhutani, kami pikir mereka akan dengan sigap memadamkan api, ternyata tidak, kini api sudah ada dia atas kami. Semua pendaki yang berada diatas, bahkan di puncak dipaksa untuk turun kembali dan tidak melanjtkan perjalanan. Ini menjadi pengalaman yang luar biasa, karena pendakian kali ini kami hampir dikepung oleh api kebakaran hutan. Semua pendaki yang berada diatas lari terbirit-birit untuk menyelamatkan diri, bahkan sampai ada yang lempar-lempar cerrier juga agar bisa bergerak lebih cepat. Namun sepertinya hanya kami saja yang cukup santai, padahal kamilah yang paling dekat dengan titik api, karena kami mengambil jalur di sebelah selatan dimana titik apai itu juga muncul. Mengingat perjalanan ini tidak mungkin dilanjutkan sampai puncak karena terlalu berbahaya, kamipun putuskan untuk kembali pulang. Tidak, ini bukan kekalahan, tapi ini didesak oleh keadaan. Selagi perjalanan turun kembali ke pos 3 yang dengan santainya, kami teringat akan nasi padang yang kami bawa dari bawah, rasanya akan mubazir jika tidak dimakan, maka dari itu sebelum kembali ke pos 3, kami putuskan untuk MAKAN! cari tempat yang agar nyingcet dan terhindar dari panas matahari lalu kami santap itu bungkusan nasi padang, padahal tidak sampai 20 meter di depan kami sedang terjadi kebakaran. Dengan santainya kami nikmatai suap demi suap, dan ternyata luar biasa nikmatnya itu nasi padang. Setelah selesai dan api semakin mendekat, kami buru-buru turun, dengan lari agak terbirit-birit, akhirnya samapi juga di pos3. Ini berkah nasi padang, dengan nasi padang kami bisa lari ke bawah. Disana sudah banyak sekali rombongan yang berkumpul. Dan kebanyakan dari mereka memutuskan untuk turun gunung, begitu juga dengan kami.

kebakaran dilihat dari dekat

kebakaran dilihat dari pos 3

kebakaran dilihat dari dekat

Walau agak sedikit kecewa karena hanya tinggal sedikit lagi sampai puncak, kami turun gunung dengan legowo, sebagai obat kekecewaan, maka ngadem dulu di Curug Citiis. Tidak salah memang orang menamakannya Citiis, karena memang airnya dingin (tiis dalam bahasa sunda artinya dingin).
curug Citiis

Setelah cukup puas disitu kami lanjutkan perjalanan menuju rumah pak RT kembali, dan tiba disana pukul 14:00. Setelah di bawah dan ketika melihat keatas, perkiraan kami pos 3 telah habis dilalap api, mudah-mudahan tidak ada korban, semua selamat kembali sampai ke rumah masing-masing. Dan iya untuk Nasi padang kami namakan Nasi Padang Membara, karena kami santap berdekatan dengan api yang sedang membara hahaha.. 
Gambar tema oleh Sookhee Lee. Diberdayakan oleh Blogger.