Bulan Ramadhan bulan suci penuh rahmat, berkah dan ampunan. Seorang
yang bertaqwa pasti merindukan kehadiran bulan suci ini karena
kedatangannya memberi peluang dalam melakukan ibadah untuk kembali pada
sumber spiritualitasnya yang tidak pernah kering sebagai penemuan jati
diri dan kembali ke fitrahnya.
Tahap spiritualitas yang
tinggi dicapai dengan pendisiplinan diri selama satu bulan penuh dengan
menahan hawa nafsu, melatih jiwa menahan dorongan-dorongan darah dan
dagingnya, tidak berbuat dan berkata yang dapat menyakitkan orang lain,
serta memperbanyak dzikir dan meingkatkan amal kebajikan.
Pada
dasarnya puasa telah diajarkan lebih sebelum islam datang, dan
diajarkan di semua agama serta telah menjadi fenomena universal yang
hanya berbeda cara pelaksanaan dan waktunya saja antara agama satu dan
yang lainnya, tapi memiliki makna yang sama sebagai pendekatan diri
kepada Tuhan nya.
Agama-agama Romawi misalnya telah
menganggap puasa sebagi cara untuk mencari petunjuk Tuhan. Bangsa Mesir
kuno melakukan puasa dari anggur dan daging untuk menerima dan
menterjemahkan apa yang mereka anggap wahyu. Agama Hindu melaksanakan
puasa pada saat hari raya nyepi, dengan tidak melakukan segala aktifitas
keduniawian. Bangsa cina klasik berpuasa untuk mengawali sebuah
pengorbanan, kepercayaan Taoisme berpuasa untuk menuju jalan ke-tao-an. Konfusianisme berpuasa untuk memuja nenek moyangnya. Agama Kristen melakukan puasa sbelum hari raya paskah (Mircea Eliasa, The Encyclopedia of Religion). Bahkan di jawa sebelum agama datang dikenal puasa kejawen sebagai cara untuk mendapatkan ilmu tertentu.
BUDAYA
Secara
kultural kita sekarang menghadapi krisis kebudayaan, yaitu dimana
macetnya kreatifitas dalam pengembangan budaya-budaya lokal dan budaya
Islam pada Khususnya. Saat ini kita lebih mengagung-agungkan kebudayaan
barat, yang belum barang tentu budaya mereka itu sesuai dengan budaya
ke-Indonesia-an dan bahkan banyak yang bertentangan dengan Islam.
Sebagai contoh sederhana, sekarang terlihat jelas di jalan-jalan banyak
sekali remaja-remaja putri pada khususnya yang dengan PD-nya berkeliaran
dengan berpakaian minimdan dengan bangganya memamerkan bagian-baggian
tubuh mereka tanpa rasa malu, yang jelas hal ini bukan hanya
bertentangan dengan Islam tapi juga dengan Budaya ke-Indonesia-an yang
ada. Pada dekade 70-90 an, jangankan perempuan berpakaian minim, bahkan
seorang perempuan yang menaiki sepeda motor dengan tidak duduk miring
saja di angap wanita "nakal" tapi sekarang hal tersebut terkesan di
"wajarkan" , padahal pada mulanya pakaian-pakaian minim tersebut
digunakan oleh PSK-PSK di Eropa untuk menarik pelanggannya.
Puasa
sebagai basisi untuk mendorong terjadinya proses tendensi juga
diperlukan dalam menghadapi perubahan yang cepat dalam menyikapi
pluralitas yang komplek sehingga didapat kearifan budaya, dengan sifat
arif dan bijaksana dalam menghadapi berbagai keragaman budaya, dan
menyelamatkan Indonesia dalam gempuran budaya-budaya barat.
Kearifan
budaya diperlukan agar tidak terjebak dalam budaya yang salah kaprah,
kecongkakan budaya dan memandang tinggi rendah budaya dalam masyarakat,
sehingga tidak ada anggapan bahwa budaya barat dengan basis IPTEK nya
lebih tinggi dari budaya timur dengan spiritualitasnya, agar tidak
menelan mentah-mentah segala sesuatu yang datang dari barat.
Jika
Puasa dapat membentuk dan mengembangkan kearifan budaya, maka akan
didapat keseimbangan sosial yang kreatif dan adil serta tidak ada lagi
pemutlakan budaya sehingga menampilakan fanatisme sempit dengan
mendewakan kelompok tertentu dan memandang "kafir" kelompok lain
sehingga harus digusur dan dimusnahkan.
Jika semua itu
kita jalani dengan mawas diri dan jujur, puasa akan mencapai puncak
tertinggi dengan melakukan kesalihan dan kearifan budaya sebagai
petunjuk Ilahi dalam menyikapi berbagai jenis masalah kebangsaan.
PENEMUAN JATI DIRI
Puasa
sebagi panggilan untuk kembali pasa tingkat spiritualitas yag suci
dengan menahan dan mengendalikan egoisme yang bertujuan sebagai ibadah,
dimana secara spiritual puasa sebenarnya dapat memberi sumbangsih yang
begitu besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menemukan
jati diri bangsa, karena jati diri tidak terlepas dari kehidupan
spiritualitas bangsanya. Selain itu bangsa ini juga harus belajar dalam
menahan dan mengendalikan egoismenya sehingga tidak mudah terjadi
konflik. Begitu juga para elite politik dan pejabat pemerintahan yang
ada harus bisa menahan ego pribadi, dan ego parpolnya serta lebih
mngutamakan apa yang diperlukan rakyatnya daripada apa yang diperlukan
partai dan "selingkuhannya", dan juga jangan sampai menjual nama rakyat
demi kepentingan pribadinya.
Agama dan kehidupan
bernegara memang tidak bisa dipisahkan dan sudah semestinya ditempatkan
pada tempat yang paling fundamental sebagai sumber moralitas dan
spiritualitas bangsa.
Bangsa yang memiliki
kekuatan, moralitas dan spiritualitas yang tinggilah yang akan memajukan
peradaban yang besar. Tetapi jangan sampai salah menempatkan agama pada
masalah-masalah sosial yang kompleks yang pada dasarnya agama bersifat
toleran, dan jangan pula menempatkan agama sebagai basis pembenaran
dalam menyikapi masalah sosial yang itu hanya menguntungkan segelintir
elite politik saja, sehingga tidak anti realitas dan anti kurtural.
Jati
diri bangsa Indonesia sejatinya terbentuk dari moralitas dan
spiritualitas agama dan ke-Indonesia-an yang besar dan toleran. Teramat
malah jika semangat moralitas dan spiritualitas yang tinggi ini terjebak
salam kekerasan dan konflik politik. Sehingga Indonesia kehilangan jati
dirinya dan hanya menjadi objek menderita dari gempuran budaya dan
kepentingan asing saja, tanpa rakyatnya bisa menikamati hasil buminya
sendiri.
"Semoga puasa kita dapat meningkatkan tingkat moralitas dan spiritualitas serta memperkokoh penemuan jati diri bangsa"
Post a Comment