REVOLUSI BELUM SELESAI DAN BAHAYA BELAJAR DEMOKRASI

gambar dari news.metrotv.com
Revolusi belum selesai !Begitulah salah satu pekikan Bung Karno dalam salah satu pidatonya. Bung Karno menganggap Revolusi Indonesia belumlah selesai karena masih banyak sektor yang masih harus dibenahi, baik dari politik, sosial maupun ekonomi. Anggapan ini pulalah yang mengakibatkan perceraian antara Soekarno dan Hatta. 

Revolusi adalah salah satu perubahan radikal dan fundamental dalam kehidupan masyarakat secara cepat. Pada umumnya revolusi sering ditandai dengan penggulingan kekuasaan dan diiringi aksi berdarah-darah yang timbul akibat konflik antara kekuatan bertahan dan kekuatan menjatuhkan. Sebagai contoh dapat dilihat dari sejarah revolusi di Perancis, Rusia, maupun Cina. Dari sejarah kita dapat belajar bahwa tanpa revolusi, dinamika masyarakat berjalan lamban tanpa adanya loncatan listrik dalam membangun peradaban baru baik dalam ekonomi, sosial budaya, hukum dan sains tek.

Bagi masyarakat dengan tatanan dan sistem politik yang mapan, revolusi berlangsung pada tataran kebudayaan san sainstek, sedangkan pada masyarakat dengan tatanan politik yang carut-marut revolusi menjadi satu hal yang kompleks dan beresiko tinggi.

Revolusi bagai pisau bermata dua, satu sisi menimbulkan kekerasan dan memakan anaknya sendiri, sedangkan di sisi lain menimbulkan loncatan peradaban yang lebih tinggi. Tapi sebenarnya yang menjadi persoalan adalah apa yang terjadi setelah revolusi dan menemukan momentumnya dengan pergantian kekuasaan? Sejarah menunjukan revolusi tidaklah mempunyai basis ideologi yang kuat dan rekonstruksi yang jelas.

Ketika kekuasaan politik jatuh, kekuasaan revolusioner cenderung membagi-bagikan kekuasaan, mereka bertikai sendiri antas sesamanya dan dengan berbagai cara berusaha mengukuhkan kekuasaanya. Sehingga kekuatan revolusioner dengan misi sucinya ternoda oleh nafsu kekuasaan.

Jika sejarah dijalankan dengan adanya creative minoryty, maka creative dalam revolusi haruslah dijiwai dengan keteladanan sosial, moral, dan intelektual yang kuat, sehingga dapat membangun tatanan olitik dan birokrasi yang efektif dan efisien, sekaligus memperkecil kecenderungan seorang penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan dirinya. Dan rakyat sebagai penyangga revolusi tidak lagi terpuruk nasibnya, miskin, bodoh, serta dibodoh-bodohi seperti habis manis sepah dibuang. 


Bahaya Belajar Demokrasi 

Setelah revolusi tentu saja kita memimpikan lahirnya kehidupan yang demokratis bila diyakini, demokrasi adalah jalan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik, dengna terpeliharanya hak-hak rakyat. Demokrasi yang diimpikan adalah kehidupan dimana ada kebebasan, persamaan dan keadilan. Supremasi hukum dapat ditegakan dengan seadil-adilnya tanpa pandang bulu dan tiap individu dapat berpendapat bebas selama tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. 

Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa demokrasi bukanlah suatu yang langsung turun dari langit dan selesai begitu saja. Demokrasi bukanlah buatan pabrik yang cetak jadi tapi demikrasi adalah proses panjang yang memerlukan pengorbanan dan melelahkan. Belajar demokrasi dan menerapkannya didalam kemiskinan rakyat dapat menimbulkan satu kekuatan dan berbahya bagi kehidupan rakyat itu sendiri, jika perbedaan pendapat menjadi sebuah pertikaian dan tidak mendapat titik temu, maka terjadilah konflik berkepanjangan dengan mengambil bentuk kekuasaan. Sehingga tidak ada bedanya antara demokrasi dengan kekacauan dan kekerasan. 

Belajar demokrasi ditengah masyarakat yang digayuti kemiskina multidmensional sangatlah beresiko karena itu harus dilakukan dengan pelan-pelan dan hati-hati. Serta harus disertai dengan kearifan lokalnya. Kematangan berpikir dan kedewasaan emosi, ironisnya semua itu harus dilakukan dalam kondisi masyarakat yang lapar. 

Yang lebih berbahaya adalah ketika kemiskinan dijadikan komoditi politik dan perebutan kekuasaan dipertontonkan secara vulgar dan telanjang tanpa dijiwai moralitas dengan atasnama demokrasi. Semua kekuatan politik dengan habis-habisan menjarah kekayaan negara dengan saling menjatuhkan dan menebar teror. Kebebasan yang ditawarkan demokrasi akhirnya menjadi kekerasan, karena belajar demokrasi ditengah orang lapar dapat mengakibatkan ledakan sosial dan berbahaya bagi kehidupan bangsa.

Akar persoalan yang ada adalah perut-perut lapar rakyat yang demokrasi bukanlah hal yang dapat membuat mereka kenyang, bahkan semakin lapar dan menderita. Sebab itu sang pemimpin janganlah kenyang dulu sebelum perut rakyatnya kenyang, biarlah rakyat yang pertama kenyang, baru dirinya. Dan janganlah terjebak dalam romantisme demokrasi yang membuat lupa daratan dan hanya jadi mimpi di siang bolong.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Sookhee Lee. Diberdayakan oleh Blogger.