Menapaki Jalur Alternatif Mudik Jogja-Garut

Gambar diambil dari harianjogja.com
Seperti biasa dalam menyambut lebaran atau Hari Raya Idul Fitri, sebuah tradisi yang selalu dilakukan masyarakat Indonesia adalah mudik. Kata mudik berasal dari kata udik yang artinya desa; dusun; kampung, dan pengertian lain yang maknanya adalah lawan dari kota. Mudik berarti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Idul Fitri atau Lebaran.
Tradisi mudik merupakan kebiasaan yang masih belum tergantikan meski dengan adanya teknologi telekomunikasi seperti handphone untuk mengucapkan selamat hari Idul Fitri. Mudik merupakan kesempatan untuk bertemu sanak keluarga dan sekaligus merayakan Idul Fitri bersama-sama. Awalnya mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa bahkan sejak sebelum masa Kerajaan Majapahit. Tradisi petani ini saat pulang ke desanya adalah membersihkan pekuburan makam leluhurnya. Tradisi tersebut bertujuan agar perantau
diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan aman dan tenteram. Tradisi pulang ke kampung halaman setahun sekali ini terus bertahan apalagi dengan adanya Idul Fitri atau Lebaran. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri berziarah dan membersihkan kuburan keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal.

Sebagai seorang mahasiswa rantau di Jogjakarta, penulis sendiri sudah empat tahun ini ikut melaksanakan tradisi mudik, namun ada yang berbeda dalam mudik tahun ini. Tahun ini diputuskan untuk mudik melewati jalur alternatif, bukan jalur yang biasa digunakan pada umumnya. Seperti biasa perjalanan mudik menggunakan sepeda motor dari  Jogjakarta menuju Garut-Jawa Barat saya ditemani rekan satu daerah yang memang sama-sama kuliah di Jogjakarta, sebut saja fikri namanya, seorang mahasiswa aerkeologi UGM yang entah kapan akan lulus hehe......

Satu minggu sebelumnya kami berdiskusi dahulu untuk menentukan kapan akan pulang, dan diputuskanlah kami pulang pada hari kamis tanggal 24 Juli 2014, dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, kebetulan masing-masing dari kami masih mempunyai urusan yang belum terselesakan. Satu hari menjelang kepulangan kami kembali berdiskusi, untuk memastikan apakah besok jadi mudik atau tidak, karena dari tahun-taun sebelumnya setiap kami akan mudik selalu di undur-undur lagi, entah masih ada urusan, ataupun itu memang malas, maklum jarak yang hampir 300km lebih harus ditempuh dengan sepeda motor, belum lagi dengan kemacetan yang harus dihadapi di beberapa titik jalur mudik. Dan akhirnya kami sepakat pada hari kamis pulang ke kampung halaman, karena si Fikri sudah janji dengan orang tuanya, dan saya sudah tidak punya uang lagi kalau harus ditunda-tunda. Rencanya perjalanan pun disusun, diputuskan kami berangkat setelah sholat subuh, sekitar jam 5 pagi , atau paling telat jam 6 pagi, tetapi kali ini kami bersepakat akan mencoba jalur alternatif untuk menghindari kemacetan yang mungkin terjadi.

Hari keberangkatan pun tiba, setelah selesai beres-beres kamar kos, saya sudah siap berangkat, tinggal nunggu si Fikri, tapi di tunggu sampai jam 6 belum muncul juga, terpaksa saya susul ke kontrakannya, dan ternyata ia belum bangun. Setelah susah payah membangungkanya, akhirnya kami berangkat pukul 7:00 dari Jogjakarta.

Menyusuri jalanan Jogjakarta di pagi hari begitu menyenangkan, udara yang masih bersih, jalanan yang lengang karena belum banyak orang yang beraktiftas, membuat kami semakin bersemangat untuk pulang. Seperti biasa dari Jogja kami mengarah ke Kulon Progo, menyusuri jalan wates, dan berhenti sejenak di SPBU Ambarketawang untuk mengisi bensin, setelah mengisi bensin perjalanan di lanjutkan kembali. Menyusuri jalan Wates mengarah ke Kulon Progo, jalanan masih lengang, hingga akhirnya sekitar pukul 8:00 memasuki daerah Kulon Progo mulai terlihat kepadatan arus lalu lintas, dan di saat itu pula kami berpapasann dengan dua buah bis malam dari Bandung yaitu bis Budiman dan Pahala Kencana yang baru tiba, biasanya kedua bis ini tiba di Jogjakarta tidak pernah lebih dari jam 7:00 pagi, tapi sekarang jam 8:00 baru tiba di Kulon Progo, sudah bisa dipastikan bahwa terjjadi kemacetan di jalan, biasanya titik kemacetan pertama ada di Purworejo setelah itu baru Kebumen. Maka dari itu diputuskan untuk langsung mengambil jalur alternatif via pantai Congot.

Gambar pintu masuk Pantai Suwuk
Karena sebelumnya kami tidak pernah melewati jalur ini jadi agak sedikit bingung, untungnya ada papan petunjuk arah, yang menunjukan arah menuju ke Kebumen. Alangkah terkejutnya ketika kami memasuki jalur Congot ini, jalan yang begitu lebar, dengan dua arus yang masing-masing arus memiliki dua jalur, yang bahkan lebih lebar dari  jalur utama Jogja-Purworejo, ditambah kondisi jalanan yang SEPI, sunngguh sangat mengherankan jarang sekali orang melewati jalur ini. Sepanjang perjalanan dari Jogja menuju Purworejo dengan jalur alternatif ini selain melewati jalan yang begitu besar dan sepi, anda juga akan disuguhi hijaunya pemandangan perkebunan jagung di kanan dan kiri jalan, selain itu juga di daerah sekitar pantai Congot akan terlihat orang-orang yang sedang menjajakan ikan hasil tangkapan nelayan disana, selain itu sesekali tercium aroma angin laut, yang memang jalur tersebut keberadaanya tidak jauh dari pantai. Memasuki daerah Purworejo akhirnya pertanyaan kami terjawab, kenapa jalur tersebut jarang dilalui orang, selain jalanan yang mulai menyempit, yang hanya bisa dilalui satu buah bis malam, juga karena jalanan yang bergelombang. Ya, anda akan mendapati jalanan bergelombang lebih kurang 5km, disini pengendara motor harus sangat berhati-hati. Tetapi anda tidak perlu khawatir, pemandangan disini pun tidak kalah menariknya, jika tadi disuguhkan dengan pemandangan kebun jagung, maka disini akan disuguhkan pemandangan kebun pepaya. Setelah melewati perkebunan pepaya, selanjutnya disuguhkan suasana pedesaan, memang sebagian besar jalur purworejo ini melewati pedesaan, tapi walau begitu angin laut masih tetap terasa, karena jaraknya memang dekat, sekitar 1-5Km dari jalur yang dilalui.

Jembatan Sungai Suwuk

Setelah melewati pedesaan, selanjutnya hamparan padi datang menyambut.Ya, hamparan padi sejauh mata memandang tersaji di kanan kiri jalan ini membuat perjalanan semakin menyenangkan, dan tanpa terasa akhirnya sampai di daerah Kebumen. Di Kebumen, kami langsung disambut oleh indahnya pemandangan pantai Suwuk. Pantai Suwuk adalah salah satu pantai yang ada di Kebumen. Dari pantai Suwuk perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Karang Bolong, tapi sebelum Pantai Karang Bolong kita melewati jembatan Sungai Suwuk, pemandangan dari jembatan ini sungguh luar biasa indah sekali, air sungai yang berwarna hijau dengan dikanan dan kirinya perbukitan dengan langsung bermuara ke laut selatan, serta sesekali terlihat ikan-ikan yang berenang, tidak mengherankan kalau di jembatan ini banyak orang yang sedang memancing. Setelah melewati Pantai Karang Bolong selanjutnya kita akan menuju ke Cilacap melewati Pantai Ayah. Nah perjalanan dari Karang Bolong ke Ayah ini lah kemampuan kendaraan dan berkendara kita benar-benar di uji. Jalan yang menanjak melewati perbukitan, ditambah dengan banyaknya tikungan-tikungan tajam semakin memacu adrenalin untuk menaklukannya, tetapi tetap harus berhati-hati karena jika salah perhitungan bukan hanya jatuh dari sepeda motor saja tapi juga bisa saja bertabrakan dengan kendaraan lain dari jalur yang berlawanan, mengingat jalan yang sempit juga, sangat tidak disarankan untuk pengemudi pemula/yang baru bisa mengendarai sepeda motor/mobil untuk melewati jalur ini. Akan tetapi jalur ini juga menyajikan pemandangan yang tidak kalah luar biasanya dengan jalur-jalur sebelumnya, dari atas perbukitan kita bisa melihat keindahan teluk dan panjangnya garis pantai dari pantai ayah di Kebumen sampai ke Cilacap, selain itu warna lautan yang mulai dari warna hijau, coklat dan biru terlihat jelas dari sini, dan apabila kita melihat ke barat akan tertampak perbukitan kapur, membuat betah berlama-lama disana.
Pemandangan dari atas bukit yang dilalui jalur sebelum Pantai Ayah
Setelah menaklukan perbukitan selanjutnya kami tiba di Pantai Ayah, jalur yang benar-benar ada di pinggir pantai sungguh sangat luar biasa. Dari sini kami melanjutkan perjalanan menuju Cilacap. Udara panasa Cilacap hampir saja membuat kami tergoda dengan kesegaran es kelapa muda disiang hari, tapi untungnya itu dapat kami atasi. Jalur dari Cilacap menuju Banjar (Jawa Barat) tidak kalah indahnya, disini kami disuguhi dengan rimbunnya pepohonan, karena disini kita melewati hutan pohon jati dan juga cemara, udaranya pun sejuk. Dan sampai akhirnya kami tiba di Sidareja, satu daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, dari Sidareja ini kami bingung apakah mau melanjutkan ke Pangandaran atau mengambil jalur arah Banjar? Setelah agak lama berdiskusi sambil beristirahat sejenak, akhirnya diputuskan untuk langsung melewati Banjar, dengan pertimbanga waktu tempuh dan keadaan bensin yang semakin menipis. Perjalanan dari Sidareja menuju Banjar juga tidak kalah luar biasanya, disini kami benar-benar berpetualang tanpa tahu arah, jika sebelumnya masih ada petunjuk arah, disini sama sekali tidak ada petunjuk arah, satu-satu cara adalah dengan bertanya kepada warga sekitar. Ini bukanlah jalan raya tetapi jalan desa, ini benar-benar jalan alternatif dari jalan alternatif yang kami lalui. Tetapi jangan salah disini kami menemui sebuah danau, yang entah danau apa itu namanya, juga melewati sebuah bendungan, dan akhirnya menyusuri jalan disamping selokan, seperti selokan mataram kalau di Jogja, dan akhirnya tiba di Banjar. Dari Banjar ini selanjutnya kami melanjutnkan perjalanan menggunakan jalur yang umum dilewati orang, yaitu jalur selatan, karena memang tembusnya ternyata ke situ, yaitu ke Langensari.

Dari sini kami melanjutkan perjalanan melewati Ciamis, dan jalanan cukup lengang, selanjutnya melewati Tasikmalaya, disini sedikit terjadi kemacetan diakibatkan dari longsornya jembatan Cibaroyan, setelah itu menuju Singaparna, disini juga terjadi kemacetan akibat longsornya jembatan Cibaroyan tadi, dan pada akhirnya tepat pukul 7:30 malam tiba di kampung halaman tercinta yaitu di Kabupten Garut. Total perjalana Jogjakarta-Garut ditempuh dengan lebih kurang 12 jam hal ini bukan karena kemacetan atau panjangnya jalur alternatif dibanding jalur utama, tetapi lebih karena seringnya kami berhenti untuk menikmati pemandangan-pemandangan yang tersaji disetiap jalur perjalanan, dan kami sangat puas sekali menikmatinya. Ini bukalah mudik tapi ini lebih kepada Holiday, maka dari itu tidak ada salahnya bagi anda para pemudik untuk mencoba jalur alternatif, selain menghindari kemacetan, siapa tahu juga bisa menikmati pemandangan yang belum pernah anda saksikan sebelumnya.
Pemandangan dari jalur sebelum pantai Ayah terlihat garis pantai Kebumen-Cilacap

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Sookhee Lee. Diberdayakan oleh Blogger.