Sangkuriang
Si kabayan
Sunda
Urang Sunda
URANG SUNDA Bag.1
“Urang sunda ka marana”
“Urang sunda di marana”
“Urang sunda, urang mana”
“Urang sunda, Anjeun saha”
“Urang sunda di marana”
“Urang sunda, urang mana”
“Urang sunda, Anjeun saha”
Begitulah kira-kira cuplikan lirik lagu dari Doel Sumbang
yang berjudul “Urang Sunda” yang jika di artikan dalam bahasa Indonesia kira-kira
artinya adalah sebagai berikut:
“Orang Sunda pergi kemana”
“Orang Sunda ada dimana”
“Orang Sunda orang mana”
“Orang Sunda kamu siapa”
Tidak mudah memang untuk mengidentifikasi seperti apakah
sebenarnya Urang Sunda itu, terlebih lagi diera globalisasi seperti sekarang
dimana budaya luar yang masuk sudah tidak dapat tersaring lagi dan secara pelan
namun pasti telah menggusur budaya Sunda yang ada yang memiliki nilai-nilai
luhur. Tetapi dibalik gempuran budaya-budaya asing yang masuk ciri khas Urang
Sunda tetap tidak akan hilang seperti suka bercanda, dan senang bersolek, akan
tetapi selain itu sebenarnya apa lagi ciri khas dari Urang Sunda dan bagaimana lagi sifat-sifat khas nya serta
siapakah yang dianggap sebagai refresentatif dari Urang Sunda itu sendiri
diantara lebih dari 20 juta Urang Sunda zaman sekarang?
Pada tanggal 6 April 1977 Mochtar Lubis dalam ceramahnya di
Taman Ismail Marzuki (TIM) pernah memberkan hadiah berupa cermin kepada bangsa
Indonesia, dan tampak lah dari situ memantul ciri khas bangsa Indonesia yang munafik,
sulit bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, lemah, boros dan lain
sebagainya, niscaya didalamnya juga terkandung sidat-sifat dari Urang Sunda
yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia. Dan selain itu juga
Mochtar Lubis menyebutkan sifat yang takut kehilangan jabatan, juga merupakan
sifat yang menonjol dari Urang Sunda. Tidak lah mudah memang untuk
mengidentifikasi Urang Sunda secara lebih
mendalam.
Pada umumnya tokoh-tokoh Urang Sunda tinggal di perkotaan,
akan tetapi kondisi perkotaan zaman sekarang tidaklah jauh berbeda dengan
kota-kota lainnya diluar priangan sehingga ciri khas Urang Sunda sudah tidak
ada lagi. Contohnya saja Bandung, ciri khas Urang Sunda di Bandung dapat
dikatakan sudah hilang, dapat dilihat dari cara bicara, sedikit sekali orang
Bandung (Pemuda/Pemudi) yang masih menggunakan bahasa Sunda secara tulen (tanpa
dicampur dengan bahasa Indonesia) bahkan tidak sedikit yang tidak mengerti kosa
kata-kosa kata dalam bahasa Sunda karena mereka tidak pernah menggunakannya
atau bahkan tidak pernah mendengarnya sekalipun, padahal berdasarkan Kongres
Bahasa Sunda yang pertama disepakati bahwa dialek yang paling benar untuk
bahasa sunda itu menggunakan dialek Bandung.
Sangat sulit sekali mengidentifikasi ciri khas Urang Sunda
itu, bahkan pergeseran budaya sunda sendiri tidak hanya terjadi di era
globalisasi seperti zaman sekarang, di era kerajaan terdahulu pun terjadi
pergeseran budaya, contohnya saja ketika Tatar Sunda dijajah oleh Mataram, yang
tadinya Urang Sunda itu demokratis tidak mengenal yang namanya Undak-Usuk-Basa
atau bahasa Lemes-Sedeng-Kasar menjadi mengenalnya yang itu merupakan pengaruh
dari budaya jawa khususnya Mataram, selain itu muncul pula budaya feodalisme
dengan adanya menak (bangsawan) yang hidup dekat dengan lingkungan kabupaten,
demikian pula dalam perkembangan sastera, munculah wawacan dan bentuk dangding
serta tembang. Jika ditilik dari sejarah lebih jauh lagi menurut sumber dari
Cina kerajaan pertama yang berdiri di Pulau Jawa adalah Tarumanegara yang mana
itu menduduki wilayah Sunda, ini berarti peradaban Urang Sunda sudah ada sejak
abad ke-5 dan tidak mustahil lebih lama lagi dari itu. Sejak zaman Tarumanegara
berbagai pengaruh datang silih berganti baik itu agam ataupun budaya sendiri-sendiri,
silih berganti pula muncul berbagai macam kerajaan seperti Galuh, Pajajaran,
Telaga, Cirebon, Banten dan lain sebagainya. Berbeda dengan di Jawa Tengah atau
Jawa Timur yang masing-masing kerajaan meninggalkan jejaknya berupa candi
ataupun istana-istana yang megah, yang memberikan petunjuk tentang agama apa
yang dianutnya, kerajaan di Sunda tidak
meninggalkan itu, kecuali Cirebon dan Banten yang beragama Islam. Tetapi era
kerajaan Pajajaran sebelum Islam datang tidak ada petunjuk yang dapat
memberikan gambaran tentang agama apa yang dianut pada masa itu, sebelum
akhirnya Islam menaklukan Pakuan dan sang raja (Prabu Siliwangi) ngahiang. Berbeda
pula dengan Prabu Brawijaya yang juga ngahiang bersama Sabdopalon dan
Nayagenggong yang menurut leluri Jawa juga akibat ancaman pasukan Islam yang
menduduki Majapahit yang akhir memberikan ancaman bahwa akan kembali setelah
500 tahun dan kembali menduduki tahta, Prabu Siliwngi tidak memberikan ancaman
seperti itu.
Setelah Islam datang ternyata dapat diterima dengan baik
oleh Urang Sunda ini pun sedikit banyak mempengaruhi dari ciri khas Urang Sunda
itu sendiri yang sudah terbentuk sebelumnya, sehingga dalam peta percaturan
politik pun ini dimanfaatkan oleh S.M. kartosuwiryo yang merupakan seorang Jawa
untuk melawan Soekarno yang juga seorang Jawa melalui DII/TII nya yang tumbuh
berkenbang di tatar Sunda, sehingga ada sebuah ungkapan bahwa “Pak Karno
berperang melawan Pak Karto yang menjadi korban Pak Karna dan Pak Karta.” Tentu
saja ini bukan hanya masalah pribadi antara Soekarno dan Kartosuwiryo saja
melainkan karena perbedaan pandangan politik, dan bukan pula karena
Kartosuwiryo ini tinggal di tatar Sunda khususnya Malangbong, Garut, dan bukan
pula karena mertuanya disitu, melainkan karena daerah itu adalah basis dari
kekuatan Syarikat Islam, maka tidak dapat dipungkiri bahwa keyakinan
Kartosuwiryo bahwa Islam sendiri sudah menjadi bagian dari warna Urang Sunda.
Untuk itu dalam hal ini saya akan mencoba mengidentifikasi
Urang Sunda melalui tokoh-tokoh sastera seperti Si Kabayan, Mundinglaya
Dikusumah, Sangkuriang, Purbasari, dan juga melalui tokoh-tokoh sejarah seperti
Ki Tapa, pangeran Kornel, Dewi Sartika dan Dipati Ukur.
Utuy Tatang Sontani seorang brilian dalam kesusastraan Sunda
yang sebagian orang menganggapnya lebih daripada seorang pengarang Si Kabayan
dan Sangkuriang yang paling orisinil mengungkapkan bahwa Si Kabayan merupakan
tokoh ciptaan Urang Sunda yang memegang teguh pedoman Cageur Bageur (sehat
lahir batin dan berbudi baik), ramah kepada tamu, raut mukanya lebih banyak cerah daripada
mesum, tidak bersifat aniaya, gemar bergurau dan berkelakar, suka menertawakan
ketololan sendiri jika terdesak dan sering menciptakan lelucon-lelucon untuk
mengisi hidupnya. Menurut Utuy sendiri lelucon-lelucon Si Kabayan bukalah
sebuah lelucon kosong melainkan sarat dengan makna, sayangnya kebanyakan Urang
Sunda sekarang tidak paham akan kedalaman isi dari lelucon tersebut. Si Kabayan
adalah manusia luar biasa yang terbuka akan kritik atas dirinya sendiri tentu
dengan menertawakan dirinya sendiri, Si Kabayan adalah manifestasi Urang Sunda
yang menemukan puncak kesehatan lahir dan batin yang sudah teu naon naon ku
naon-naon (tidak apa-apa oleh apa-apa) karena telah mampu menertawakan diri
sendiri. Adapun tokoh Sangkuriang adalah manifestasi dari jiwa yang terlalu
yakin akan kebenaran dirinya sendiri sehingga tidak mau menerima kebenaran
orang lain. Sangkuriang adalah bukti manifestasi manusia naon-naon ku naon-naon
(apa-apa oleh apa-apa) yang tidak mau menerima saran orang lain, yang ketika
ditantang oleh Dayang Sumbi untuk membuat telaga dan perahu dalam waktu semalam
dengan segera menyanggupinya, yang kesanggupannya itu hampir saja terpenuhi
jika Dayang Sumbi tidak mengelabuinya dengan membuat fajar palsu. Sangkuriang
adalah tokoh yang menyatukan segala hal diluar dirinya dan didalam dirinya,
manusia yang sekaligus dewa dan hewan yang nyala jiwanya berkobar-kobar, yang menganggap
dirinya adalah sumber dari segala.
Adapula tokoh seperti Mundinglaya yang berlainan dengan Si
Kabayan dan Sangkuriang yang merupakan tokoh yang patuh pada perintah
langlayangan salaka domas, meskipun perintah tersebut dapat mengancam nyawanya.
Dalam tokoh wanita pun ada Purba Sari Ayu Wangi yang sabar dan tawakal dalam
menerima penganiayaan dari kakaknnya Purbararang yang akhirnya mendapat
kebahagiaan diakhir cerita.
Dari tokoh-tokoh sastera lama tersebut yang bahkan tidak
diketahui siapa pengarang sebenarnya dapatlah pula ditarik kesimpulan bahwa
masing-masing dari tikoh tersebut dapat menggambarkan ciri khas dari
karakteristik Urang Sunda yang demokratis mampu menerima kritik bahkan menertawakan
dirinya sendiri yang tergambar dari sosok Si Kabayan, sekaligus juga mempunyai
keyakinan yang teguh seperti Sangkuriang, selain itu juga tunduk pada perintah
laksanan Mundinglaya Dikusumah dan tentunya dibarengi dengan sikap yang sabar
seperti Purbasari. Akan tetapi itu semua
tidaklah cukup untuk menggambarkan karakteristik Urang Sunda khususnya di zaman
kiwari. Perlulah juga kita melihat pada sosok-sosok nyata seperti Dipati Ukur,
Ki Tapa, dan lain sebagianya sebagai reflesksi Urang Sunda yang sebenarnya yang
akan dijabarkan pada bagian kedua tulisan ini.
gambar dari nurulmariasisilia.wordpress.com |
Post a Comment