DTE
Kapitalisme
Manufaktur
Pendidikan
UGM
Diploma Teknik Elektro UGM, Contoh Sederhana Dari Sistem Manufakturisasi Pendidikan
sumber: kontinum.org |
Dengan memahami
universitas dalam kapitalisme kognitif tempat berpautnya kepentingan industri
dan negara, maka kita harus membangun
strategi dan taktik yang relevan dengan karakternya.
Dalam kapitalisme,
kampus adalah korporasi pada industri pendidikan. Salah satu kesamaannya tampak
dari begitu kerasnya birokrasi universitas menormalkan dan menjinakan kehidupan
kampus untuk meredam perlawanan dan
protes-protes. Selain untuk mendisiplinkan dan menutupi segala bentuk kejahatan
birokrasi kampus, represi dan kekerasan akademik juga bertujuan memastikan
pengintegrasian universitas ke dalam konfigurasi ekonomi global.
Dengan melihat
posisinya dalam konfigurasi ekonomi kontemporer, universitas mesti dipahami
secara radikal. Tentu pemahaman yang umum dipercayai yakni pendidikan adalah
sarana pencerahan, pengembangan dan peningkatan kwalitas masyarakat, sudah
menjadi mitos belaka. Sementara analisis lain bahwa universitas sebagai pabrik
yang menghasilakan (calon) pekerja untuk memproduksi relasi kerja upahan dalam
masyarakat industri, mesti diradikalisir kembali.
Semenjak karakter
masyarakat bertransformasi, maka posisi universitas tidak saja secara sederhana
mereproduksi relasi kapitalis dan selubung ideologis masyarakat kapitalis,
melainkan memainkan peran lebih terkonsentrasi sebagai sentra produksi atau
pabrik dengan komoditi yang lebih kompleks dan lebih vital.
Dalam
kapitalisme kognitif (pos-Fordis), reorganisasi universitas menghubungkan dua
kepentingan: negara yang berkonsentrasi untuk meredam krisis keuangan dengan
memangkas biaya-biaya tidak produktif (termasuk anggaran pendidikan), dan
kelompok bisnis yang menginginkan keterlibatan lebih dalam di industri
pendidikan. Reorganisasi pertama dengan mengotonomkan status perguruan tinggi
dari pemerintah, agar lebih leluasa membuat keputusan sendiri, mencari dana dan
sponsor, dan membuat kerjasama tanpa bisa diintervensi oleh publik.
Hal ini
mendorong pengintegrasian universitas dengan “industri pengetahuan” teknologi
tinggi, dimana riset-riset dasar diarahkan untuk kepentingan dan orientasi
industri, yang kemudian memperkuat hubungan antara sektor swasta, lembaga riset, konsultan, dan sertifikasi di
universitas. Universitas, di samping sekolah-sekolah reguler lainnya, adalah
institusi terbaik untuk mendulang pasokan calon tenaga kerja untuk mengisi
formasi pekerja cadangan (reserve army). Di universitas-lah, para
mahasiswa calon pekerja dididik,dilatih, didisiplinkan,direkayasa,
distandarisasi dan diformat agar bisa sesuai dan produktif dalam kapitalisme.
Akan tetapi upaya merubah kapital industrial menjadi kapital kognitif atau dari
Fordisme ke pos-Fordisme, tentu saja bukanlah tanpa hambatan. Salah satu fokus dari
upaya ini membutuhkan pasifikasi dan restrukturisasi universitas. Untuk itu diperlukan
pendisiplinan secara keras dengan melibatkan polisi, kekerasan, dan pembersihan
secara akademik misalnya skorsing dan pemecatan, yang kemudian dilanjutkan
dengan mereorganisasi secara radikal universitas-universitas sebagai korporasi
pendidikan yang berbasis riset.
Sehingga
keseluruhan infrastruktur universitas dapat diserap secara sempurna dalam
kapitalisme kognitif, yang mensyaratkan bahwa sebuah institusi pendidikan seperti
universitas memiliki standarisasi, operasi, dan nilai-nilai yang sesuai dengan budaya
kerja dalam kapitalisme seperti terukur, terpantau, disiplin, teratomisasi, dan
berorientasi pada nilai-nilai kehidupan modern.
Dengan disokong
hukum dan peraturan mengenai kekayaan intelektual (HAKI), universitas memiliki
peran aktif dan strategis dalam perdagangan hasil-hasil riset. Hal tersebut
juga ditambah dengan semakin kuatnya dorongan dan etos menghasilkan
produk-produk komersil, maka pola operasional kampus semakin mendekat dengan
cara kerja dan manajemen perusahaan.
Kampus
sebenarnya memberikan subsidi terhadap kapital dengan melatih tenaga kerjanya, yakni
mahasiswa yang sementara kuliah, dengan meningkatkan kurikulum kejuruan dan
berorientasi teknis yang menekankan keahlian dan kecakapan mereka untuk adaptif
dan produktif dalam konfigurasi ekonomi baru ini. Karenanya, kapital menjadi
lebih intelektual; sementara universitas
semakin industrial!
Melihat
kenyataan tersebut, dimana hubungan antara universitas dan korporasi yang
sebegitu intimnya, maka ini menjadi alasan untuk UGM membuat pendidikan
vokasional yang diejawantahkan dengan lahirnya Sekolah Vokasi UGM. Muskil bagi UGM untuk kembali membatalkan
pembentukan Sekolah Vokasi ini, apalagi dalam rangka menghadapi perdagangan
bebas di tahun 2015 mendatang. DTE sebagai salah satu bagian dari Sekolah
Vokasi sudah barang tentu juga menjadi produsen yang menyiapkan tenaga-tenaga
kerja “terampil” bagi korporasi-korporasi kapitalis yang ada di Indonesia.
Sistem pendidikan yang terjadi Sekolah Vokasi khususnya sudah bukan lagi
mengacu pada kebutuhan ilmu pengetahuan tetapi sudah mengacu pada kebutuhan
pasar (industri). Akan tetapi berbeda dengan DTE yang walaupun dalam visi-misi
nya tercantum untuk menyediakan tenaga-tenaga terampil, akan tetapi apa yang
diajarkan tidaklah sesuai dengan kebutuhan industri itu sendiri. Sebagai contoh
adanya prasyarat pembuatan tugas akhir dalam kurikulum, padahal realitanya
ketika bekerja di industri itu sama sekali tidak dibutuhkan, yang paling tepat
adalah proses magang, selain sebagai pengenalan awal pada dunia industri, hal
ini juga bisa menjadi pertimbangan perusahaan untuk mengangkat yang
bersangkutan menjadi karyawan. Selain itu tidak adanya matakuliah hak dan
kewajiban karyawan, padahal ini sangat penting dimana mahasiswa DTE sepenuhnya
diarahkan untuk bekerja di industri.
Apabila
mahasiswa DTE memang tidak sepenuhnya diarahkan untuk setelah selesai kuliah
langsung bekerja di industri, dalam artian mahasiswa masih diberi pilihan untuk
kembali melanjutkan masa studinya, selama ini DTE tidak pernah memberi
fasilitas tersebut. DTE tidak pernah memberikan fasilitas bagi mahasiswanya
untuk kembali melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan ketika
mahasiswanya sendiri meminta universitas tentang kelanjutan masa studi beberapa
tahun yang lalu, DTE malah terkesan tidak mau ambil pusing, padahal sudah
menjadi kewajiban bagi DTE untuk mementukan nasib mahasiswanya. Janji untuk
membuka alih jalur dan pembukaan D4 hanyalah pepesan kosong, walau pada
realitanya ada pembentukan D4 Jaringan tapi input untuk jurusan ini adalah anak
SMA bukan mahasiswa DTE yang telah lulus, selain itu mahasiswa-mahasiswa yang
bukan berasal dari konsentrasi jaringan tidak diperhatikan karena yang dibentuk
adalah D4 Jaringan.
Selain itu
kebijakan pergantian kurikulum yang seharusnya tidak berlaku surut, malah
berlaku surut, hal ini tentu merugikan angkatan-angkatan sebelumnya yang hanya tinggal
menyelesaikan tugas akhir, menjadi
hambatan tersendiri bagi mereka.
Semua itu dapat
dimaklumi karena sistem pendidikan yang berorientasi pasar. Seperti layaknya
sebuah perusahaan DTE hanya memproduksi calon tenaga-tenaga kerja murah yang
setelah mereka lulus tidak ada kewajiban bagi DTE untuk memikirkan kelanjutan
studi mahasiswanya. Padahal sejatinya tujuan pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara adalah untuk membantu peserta didik menjadi manusia yang merdeka,
bukan untuk menjadi manusia-manusia yang kembali dijajah korporasi dengan
penyedia tenaga-tenaga kerja bagi industri.
Post a Comment