Persib Juara Diantar Timbel, Diculik Sasha Grey Sebuah Catatan Perjalanan





Momen yang begitu didamba-dambakan bagi siapapun juga para penggemar bola ketika tim kebanggaanya masuk final tentu keinginan untuk mengawal  langsung di stadion iitu pasti ada, entah itu bagi para penggemar tim-tim Eropa maupun tim lokal, terlebih bagi kami bobotoh Persib yang telah 19 tahun lamanya puasa gelar (liga).
            Rasa-rasanya jika membicarakan perihal jalannya pertandingan, maupun masalah statistik sudah banyak yang bercerita seperti itu dan banyak pula yang lebih ahli, lebih enak jika membicarakan perihal perjalanan, ya tepatnya perjalanan dari Yogyakarta menuju Palembang. Ya, Yogyakarta bukan Bandung, karena kami adalah sekumpulan pecinta Persib yang kebetulan berada di Yogyakarta. Berikut adalah catatan perjalanan kami, bukan hanya Mapala saja yang mempunyai Catatan Perjalanan, tapi Bobotoh juga!
            Cerita dimulai dari kegalauan setelah Persib memastikan masuk final dengan mengandaskan Singo Edan. Ya, bukan hanya senang yang kami rasakan tapi juga galau! Karena selang 24 jam dari itu otomatis kami harus segera memulai perjalanan sejauh 1500km menuju Jakabaring
sedangkan pada saat itu dana belum terkumpul, bahkan rencana perjalanan pun belum disusun, apakah akan menggunakan jalur darat, laut atau udara ? Jalur laut sungguh tidak mungkin, karena tidak ada kapal dengan trayek Yogya-Palembang, jalur udara juga tidak mungkin karena kami tidak punya cukup uang untuk membeli tiket yang mendadak naik semua, jelas yang lebih memungkinkan adalah menggunakan jalur darat. Akhirnya dengan modal pinjaman dan menjual sejumlah barang serta diiringi dengan kenekatan kami putuskan untuk patungan dengan menyewa sebuah mobil mini bus sebagai kendaraan pengantar menuju stadion, dan berangkatlah 7 orang pemuda (sebetulnya yang masih muda hanya 3 orang) dari Yogyakarta menuju Tasikmalaya.
            Tasikmalaya menjadi destinasi pertama kami, kota ini menjadi tempat persinggahan pertama, bukan hanya untuk sekedar melepas lelah setelah hampir 7 jam perjalanan, tapi juga melepas bau keringat dan melepas rasa lapar  sekaligus menjemput salah seorang teman kami, sehingga total menjadi 8 orang peserta holiday ke Palembang. Karena kebetulan juga ada teman kami yang lain yang memang orang Tasik dan kebetulan sedang berada di rumahnya, maka kami sempatkanlah untuk mampir sebentar sekedar numpang ke kamar mandi, namun apa daya ternyata disana telah telah disiapkan nasi timbel lengkap dengan lauk pauk, lalapan dan tentunya sang juara, apa lagi kalau bukan sambel terasi, namun sayang si jengkol tak ikut menemani! Mau tidak mau kami harus menyantapnya, sungguh nikmat, mengingat di Jogja sulit sekali menjumpai makanan semacam ini, kalaupun ada harganya tak masuk dalam kantong mahasiswa. Selesai sarapan, segera kami lanjutkan perjalanan mengingat Jakabaring masih jauh, namun sayang sang empunya rumah tak bisa ikut karena tak dapat izin ibunya, terlihat raut mukanya yang sedih. Ya, siapapun akan merasakan hal demikian, ketika kita tidak bisa mendampingi tim kebanggaan untuk meraih kembali kehormatannya setelah 19 tahun direlakan berada ditangan tim lain, akhirnya ia titipkan timbelnya yang sebagian sudah kami santap tadi untuk menggantikannya mengiringi kami sepanjang perjalanan. Tujuh jam kemudian tibalah di pelabuhan Merak, total 14 jam perjalanan dari Yogyakarta sampai ke Merak. Perjalanan Tasik-Merak tak kalah serunya, mulai dari dipepet oleh dua orang debt colector di Cicalengka, mungkin dikira mobil yang kami tumpangi ini belum lunas, tapi ketika kami sudah menepi, kedua orang ini malah muter balik dan masuk warung makan, mungkin mereka lapar. Pun ketika di tol dalam kota Jakarta, tak kalah serunya, bertemu dengan satu rombongan mobil plat E yang ternyata juga bobotoh, terlihat mereka sangat tegang, berbeda dengan kondisi di mobil kami, tawa canda selalu  menghiasi, bahkan samapi menggoda mamah muda ketika macet, sampai si mamah salting dan memilih menepi, membiarkan kami jalan duluan. Setibanya di Merak, satu hal yang kami rasakan, yaitu lapar, dibukalah timbel, dan alhamdulillah masih bersisa, bisa kalian bayangkan, seberaa banyak timbel yang kami bawa hingga di lahap 8 orang pun masih bersisa? Ah pikirkan saja sendiri ya..
            Tibalah saatnya masuk menaiki kapal, rasa-rasanya satu kapal ini dikuasai oleh bobotoh semua sungguh mengasyikan sekaligus lucu karena ada satu kawan kami yang notabene adalah orang Pangandaran, tapi baru kali ini dia naik kapal. Tiba di Bakauhueni isu penyerangan terhadap bobotoh santer terdengar, semua orang bersiap-siap dengan peralatan seadanya, muali dari kunci roda sampai batu disiapkan dalam mobil, dan semua rombongan berjalan beriringan, dengan mobil kami bberada paling depan, mobil plat AB berada digaris depan. Nyatanya isu itu tidak terbukti, malah di perjalanan dari Bakauhueni menuju Bandar Lampung kami dikejar dan diberhentikan mobil patroli polisi. Semua diperiksa, bukan hanya surat-surat kendaraan, isi barang bawaan, sampai nomoer mesin mobil pun diperiksa. Untungnya ada timbel. Ya, timbel jadi pahlawan dari sergapan aparat, ketika kedua orang polisi sedang memeriksa mobil kami dengan detail, seketika itu pula si orang Pangandaran yang baru pertama kali naik kapal tadi sibuk mencari keberadaan timbel, samapi si polisi bingung dan menanyakan apa yang dicarinya, lantas ia jawab ada timbel tapi endath dimana, si polisi pun menanyakan apa itu timbel? Dijelaskanlah olehnya apa sebenarnya timbel itu, akhirnya si polisi memperhatikan dengan seksama penjelasan tentang timbel itu, untungnya mereka tidak sampai ingin mencicipinya, itu adalah bekal dari kawan kami di Tasikmalaya. Selepas mendapatkan pencerahan mengenai timbel, si polisi itu pun mempersilahkan kami melanjutkan perjalanan.  Sampai di Bandar Lampung, sembari menunggu rombongan yang sempat tercecer, disinilah kami eksekusi timbel tadi, setelah menyelamatkan kami dari serangan tilang yang terkutuk, kini saatnya menyelamatkan kami dari bencana kelaparan.
            Perjalanan dilanjutkan, tak kalah seru, rombongan yang tadinya hanya sekitar 4 mobil, dengan mobil kami tentunya yang berada paling depan, terus bertambah satu demi satu hingga tanpa kami sadari ternyata ada sekitar lebih dari 20 mobil yang berada dibelakangi kami, ini penngalaman yang luar biasa, lebih dari 20 mobil pribadi beriringan menuju Jakabaring mapag  Persib juara, rasa bangga dan haru bercampur menjadi satu, demi Persib  layaknya sebuah ungkapan jauh di jugjug anggang diteang  ini salah satu buktinya. Lagi-lagi kejadian lucu menghampiri, karena salah satu teman kami kebelet kencing, mau tidak mau mobil harus menepi, dan apa yang terjadi? Seluruh mobil yang ada di belakang kami pun menepi dan sama-sama ikut kencing samapai memacetkan lalu lintas sekitar, macet gara-gara kebelet kencing. Setiba di Palembang, kami mampir pada seorang kawan yang bekerja di salah satu BUMN yang kebetulan ditempatkan di Palembang sekedar untuk melepas lelah dan melepas bau keringat.
            Akhirnya apa yang ditunggu-tunggu pun dimulai, pertandingan final antara Persib vs Persipura, rasanya tak perlu dijelaskan bagaimana jalannya pertandingan yang pasti suasana stadion yang tegang, haru, senang, lucu bercampur aduk semua ketika Persib berhasil mengungguli Persipura melalui adu pinlati. Penantian 19 tahun, perjalanan 1.500km terbayar sudah. Saatnya kembali ke Yogyakarta, sebelum itu karena perut keroncongan, dipilihlah sebuah warung makan yang tidak jauh dari stadion, kali ini bukan liwet, tapi nasi goreng, dan ternyata si empunya warung pernah tinggal di Bandung selama 10 tahun, Persib bukanlah sesuatu yang asing bagi dirinya, lantaran itu pulalah kami ditawari untuk beristirahat ditempatnya, namun mengingat masa sewa kendaraan yang habis pada hari minggu, mau tidak mau kami harus segera kembali ke Yogyakarta.
            Tibalah kembali di Merak, sepanjang perjalanan dari Merak menuju Jakarta kami lihat beberapa suporter tetangga berjaga di beberapa titik jembatan, dan situ pulalah kami lihat ada beberapa Polisi yang berjaga pula, sudah dapat dipastikan kalau si tetangga ini akan membuat rusuh, tapi mengingat ada banyak polisis yang berjaga di beberapa titik yang dianggap rawan, rasa-rasanya perjalanan akan aman. Memang benar bagi kami perjalanan sangat aman, bahkan hingga samapai di Bandung. Sebelum tiba di Bandung, kami putuskan untuk istirahat sebentar di sebuah rest area di km 57. Ketika kami beristirahat dan menyambangi sebuah warung, ternyata yang berjaga juga adalah seorang bobotoh Persib, diberikannyalah kami potongan harga berupa 5 gelas kopi seharga 5 ribu rupiah. Sedang asyik-asyiknya ngopi sambil berbincang dan tetnut saja melepas lelah, tiba-tiba datang sebuah mobil kijang yang berhenti tepat di depan kami. Alangkah kagetnya ketika yang keluar dari mobil adalah seorang lelaki paruh baya dengan menggunakan jersey Persib bernomor punggung 69 dengan  nama Shasha Grey. Setelah betegur sapa, dan si “Shasha Grey” ini memesan kopi, kami berbincang-bincang. Ternyata beliau ini adalah saksi hidup laga Final Persib vs PSMS di Senayan dulu. Beliau bercerita bagaimana kondisi bobotoh dahulu, bercerita tentang perjalanan away tentang tragedi-tragedi ketika ttandang, dan tentunya ketika mereka “meratakan” Jakarta kala final melawan PSMS. “Bareto mah Jakarta euweuh nanaona, Surabaya kitu, ayeuna we maranehna nangkod” ujarnya kepada kami. Ternyata bapak ini adalah orang Kiaracondong, dan kebetulan memang mau pulang ke Bandung setelah ada pekerjaan di Banten, kamipun tawarkan untuk pulang bersama-sama ke Bandung, dan beliau mengiyakan, bahkan menawarkan mobilnya yang kebetulan kosong untuk ditumpangi sebagian dari kami, bergabunglah 3 orang kawan kami dengan “Shasha Grey” ini. Namun apa yang terjadi ketika diperjalanan, bapak ini salah ambil jalur tol, bukanya ke Bandung malah mengarah ke Cirebon, pikir kami jangan-jangan dia adalah agen suporter tetangga yang mau menculik kawan-kawan kami, dikejarlah mobilnya dan kami beri tanda dari lampu mobil kami, bukanya berhenti dan menepi, malah ia memacu mobilnnya dengan lebih kencang, semakin kuatlah dugaan kami bahwa ia penculik berkedok jersey Persib bernama Shasha Grey. Akhirnya setelah berhasil di kejar, ternyata memang si bapak ini salah ambil jalur karena keasyikan mengobrol dengan ketiga rekan kami yang ada di mobilnya sehingga gagal fokus. Begitulah orang tua kalau sudah bercerita masa mudanya, suka lupa jalan pulang.  
            Sampailah kami di Bandung dengan selamat. Gorengan pak Utom pun menyambut perut yang lapar sampai ketika datang kabar buruk dari media sosial yang mengatakan rekan-rekan kami yang berada dalam rombongan bus terlibat keributan dengan suporter tetangga, dan itu terjadi di titik-titik yang kami lewati dan memang sudah kami perkirakan, namun mengingat ada polisi yag berjaga, tidak terbersit sedikitpun dibenak kami akan terjadi kejadian seperti itu. Mendengar sudah ada 3 bis yang tiba di Bandung, di depan Gedung Sate tepatnya, kami segera meluncur kesana untuk sekedar memebrikan bantuan alakadarnya. Tak kuasa diri ini melihat keadaan yang terjadi pada dulur-dulur kami, sebuah Piala yang harus dibayar mahal. Rasa sedih dan marah bercampur apalagi ketika melihat persiapan arak-arakan, disisi lain ada bobotoh yang bahkan harus bertaruh nyawa untuk mendampingi Persib, disisi lain pula ada bobotoh yang bersiap-siap untuk merayakan pesta kemenangan.
            Tapi selalu saja ada yang bisa membuat kami tersenyum bahkan sampai ketawa, memang dasarnya orang sunda resep heureuy bahkan ketika terjadi musibahpun masih saja ada bahan untuk bercanda, contohnya ketika kami menanyakan keadaan salah satu rekaan kami yang menjadi korban, ketika kami tanya kondisinya, dengan santai ia menjawab hanya butuh dukungan moral!! Luar biasa!! Mungkin ini takdir, jika dalam pewayangan ada Bima yang begitu gagah, ada Arjuna yang begitu tampan, maka kami ini adalah sekumpulan Punokawan macam Cepot, Petruk dan Gareng. Maka benarlah pula apa yang dikatakan Achmad Albar, dunia ini memang panggung sandiwara, ada peran wajar, ada peran yang berpura-pura, peran yang kocak bikinn orang terbahak-bahak, peran bercinta bikin orang mabuk kepayang, dunia ini penuh peranan, dan biarlah kami mengambil peran yang kocak itu. Perjalanan dari Bandung ke Yogyakarta pun tidak seriang ketika dari Yogya ke Bandung. Perasaan marah dan sedih masih ada, walaupun sesekali masih bisa tertawa mengingat hal-hal lucu sepanjang perjalanan. Ya, begitulah kami, perjalanan away day selalu kami rasakan layaknya holiday seperti Dora dengan Boots.
            Ini perjalanan yang akan selalu dikenang, bahkan mungkin akan diceritakan kepada anak-cucu nantinya.  Hormat kami kepada seluruh bobotoh yang hadir di Jakabaring, terimakasih kepada keluarga Ajidul yang menyediakan timbel sebgai bekal perjalanan, kalian semua HAREUDANG! 

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh Sookhee Lee. Diberdayakan oleh Blogger.